Selasa, 24 November 2015

Sejarah Lahirnya Indramayu

BABAD INDRAMAYU part 1



 Prakata
 
Bila membaca tulisan ini, akan anda jumpai  beberapa kejadian yang menurut logika“tidak masuk akal” atau “mustahil, tetapi jangan berprasangka bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Seseorang yang telah mencapai derajat mumpuni (insan kamil),lebih banyak menggunakan akal batin (intuisi) dari pada akal lahir (ratio), karena kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang tersebut dalam perbuatannya mampu menggunakan unsure kebatinan (magis/mistik) dan kesaktian (supranatural), seperti yang banyak dilakukan oleh para Wali dalam penyebaran Agama Islam.
Tetapi kebatinan dan kesaktian bukan hanya milik para Wali.Pengantar Pada abad ke-4 M, di tepi sungai Cimanuk telah berdiri sebuah kerajaan lokal yang bernama Kerajaan Manukrawa. Permaisuri dari Raja Indraprahasta ke-3 Prabu Wiryabanyu (421M – 444 M) yang bernama Nyi Mas Ratu Nilam Sari, berasal dari Kerajaan Manukrawa. Tetapi dalam sepuluh abad berikutnya tidak ada berita perihal kerajaan ini. Diduga telah terjadi musibah besar, kerajaan diterpa banjir bandang sungai Cimanuk, yang kadang-kadang terjadi dan masih terjadi sampai abad ke-19 M. (yang terakhir adalah 1850 M). Pada abad ke-14 M, baru terdengar adanya tempat pemukiman kecil penduduk, jauh di sebelah timur sungai Cimanuk, yaitu di desa Bungko, yang pada 1471 M dikunjungi Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dalam da’wah Agama Islam. Kecuali tempat tersebut, kawasan muara sungai Cimanuk sampai abad ke-15 kembali menjadi hutan belantara.

Padepokan Gunung Sumbing
Pada 1500 M, Aria Wiralodra berusia sekitar 17 tahun. Dia adalah Putra Adipati Bagelen Dalem Singalodra. Keluarga Sang Adipati yang beragama Islam, memihak Demak sejak memisahkan diri dari Majapahit.Sebagai putra Adipati, pada usia tersebut dia wajib melaksanakan pendidikan kesatria seperti ilmu keta-tanegaraan dan keprajuritan,termasuk ilmu kanuragan, bela diri dan bela negara. Sedangkan ilmu Agama Islam dilaksanakan lebih awal yaitu pada usia tujuh tahun. Kesemuanya itu telah dilaksanakan.
Kemudian untuk meningkatkan “kemampuandiri”, baik lahiriah maupun batiniyah, Aria Wiralodra memilih Padepokan Gunung Sumbing untuk berkhalwat.Di padepokan ini dimakamkan leluhurnya,pendiri Bagelen Nagari, Ki Betara. Oleh karena itu dinamakan pula Padepokan Ki Betara.“Serat Babad Dermayu”Macapat Pupuh Sinom :
Anang Sainggiling malaya Tempat ingkang sanget werit Gumuling ana ing kisma Anenuwun ing Yang Widi Sore’ at tarekat mangkin Hakekat ma’ ripat waa Tan sanes ingkang tumingal Amandeng ing wujud Tunggal Jaba-jero supaya dadi satunggal Tinggal sareh miwah dahar tigang taun lami neki Kantun gagra lan usika Sampun ical wujud neki Medal caya ingkang bening Tanda tinarimang Agung Kang den suwun ing Yang Sukma Mugia antuk ridho Gusti Saturune Mugia antuk Raharja 
Kini Sang Pertapa telah mendapatkan“kekuatan” yang tinggi, apa yang disebut sebagai mumpuni, yaitu memiliki kemampuan batin (magis) dan kesaktian (supranatural).Ketika Aria Wiralodra mohon diri kepada Sang Wiku Padepokan untuk kembali ke Bagelen,dia mendapat tiga buah senjata Pusaka Gunung Sumbing, berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai Tambu, dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak Pernala.Pusaka-pusaka tersebut buatan Empu Warih(Anak Empu Bondan), dibuat masa Kerajaan Kediri abad ke-12 M (sekarang disimpan di Kabupaten lndramayu).Setelah tertegun mendapat tiga pusaka utama,(yang merupakan idaman para pertapa Gunung Sumbing) yang tidak diduganya, Aria Wiralodra sujud syukur kepada Yang Maha Esa dan menyampaikan terima kasih berulang-ulang kepada Sang Wiku Padepokan. Kemudian mohon diri dan Aria Wiralodra kembali ke Kadipaten Bagelen. Dipanggil Sultan Demak,Tiba di Dalem Agung Bagelen, Aria Wiralodra sungkem pada ayahanda Adipati. Sang ayah memandanginya dari kepala sampai ke kaki,kemudian katanya: “Wira, kulihat engkau sangat kurus, tetapi bercahaya, apa engkau telah mendapat petunjukNya?”Sambil mengangguk Sang Putra menjawab:
“Berkat restu Rama, Ananda sekarang telah siap untuk mengabdi kepada Agama dan Negara.”
“Wira,” menyambung Sang Ayah, “Dengarlah,sejak setahun yang lalu semua pemuda, putra-putra adipati, tumenggung dan demang yang telah selesai melakukan pendidikan kesatriaan dengan nilai baik, dipanggil Sultan Demak dan diberi tugas. Sementara mengenai engkau,telah kulaporkan sedang berada di padepokan
Ki Betara Gunung Sumbing. Beliau sangat mengerti dan berpesan kepadaku agar engkau menghadapnya segera setelah kembali. Tetapi sekarang pulihkan dulu badanmu.” Belum genap satu bulan Aria Wiralodra telah minta izin Ayahanda untuk menghadap Sultan Demak Raden Fatah.Tanpa mendapat kesulitan, Aria Wiralodra diterima Sultan di ruang khusus.

 Berkata Raden Fatah: “Wira, mendekatlah, aku ingin menanyakan beberapa hal yang engkau ketahui dan yang engkau pikirkan. Singkat saja. Pertama, apa pendapatmu tentang Kerajaan Majapahit.”Setelah menggeser maju duduknya,
Aria Wiralodra menjawab: “Gusti, karena kelemahan pemerintahan raja-raja setelah Prabu Hayam Wuruk, maka Majapahit, sebagai kerajaan Nusantara, akan segera runtuh.Bahkan saat ini lontar abad 15 M. Datanya dipakai untuk penulisan buku ini.Selat Malaka, pintu perniagaan mancanegara,sudah tidak dikuasainya dan Bangsa Portugis telah membuat benteng di Malaka. ”“Bagus,” sahut Sang Sultan gembira, kemudian sambungnya: “Aku telah menyuruh Yunus anakku untuk persiapan menyerang benteng tersebut. Kemudian yang kedua, bagaimana
dengan Pajajaran?”Setelah diam sejenak, 
Aria Wiralodra menjawab: “Sama saja Gusti. Cipamali,pelabuhan paling timur di Brebes telah ditinggalkan dan kini tinggal pelabuhan Cimanuk, yang masih dikuasainya.”
“Bagus, bagus!” Sang Sultan memotong. “Aku menyuruhmu kemari untuk maksud itu, untuk tugas Agama dan Kesultanan Demak. Aku memberi tugas engkau untuk jadi penguasa Pelabuhan Cimanuk, di bawah kekuasaan Pajajaran. Caranya terserah. Kemudian hari,pada saatnya Armada Laut Demak menyerang
Pajajaran, Pelabuhan Cimanuk akan menjadi sangat penting. Aku memberi tugas ini tidak disertai prajurit, melainkan engkau Dipanggil Sultan Demak sendiri. Apa engkau mengerti?
”“Gusti,” jawab Wiralodra: “dengan segala kemampuan hamba, tugas akan hamba laksanakan. Hamba mohon do’ a restu!”
“Wira!” berkata Sang Sultan, “Ingat! Tidak boleh ada yang tahu mengenai tugasmu,kecuali tentu saja aku akan memberi tahu Sultan Caruban, Syarif Hidayatullah.” 

perjalanan Yang Panjang Keberangkatan Aria Wiralodra dari Bagelen untuk mencari muara Sungai Cimanuk disertai seorang pengiring yang bernama Ki Tinggil, dan digambarkan dalam serat Babad Dermayu berbentuk Macapat Pupuh Kinanti, sebagai berikut:
Kaidinan sampun kondur Saking Ibu Rama neki Sami medal toga waspa Andres mijil den tangisi Kalayan kang pandakawan Kiai Tinggil wasta neki Medal ngidul pinggir gunung Malebet dateng wanadri Lali turn miwah dahar Apan dereng antuk warti Cimanuk kang den pilala Ning pundi panggenan kali..

     Lebih dari setahun Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merambah hutan belukar, maka pada suatu hari sampailah di tepi sungai yang sangat lebar. Airya deras bergelombang, mengalir ke arah utara.Sambil duduk di batu memandang arus air,Wiralodra berbincang dengan Ki Tinggil.“Paman! Aku sangsi apakah ini sungai Cimanuk atau bukan, tetapi aku menduga tanah di sini bekas kebun atau masih menjadi milik orang.Lihat ada banyak pohon dukuh dan manggis.”“Raden benar, semoga kita bertemu dengan pemiliknya atau siapa saja yang bisa ditanya.”Belum habis Ki Tinggil bicara, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara orang bersenandung Pupuh Kinanti.:
Punika Kali Citarum Karawang bagian neki Sampun kalintang pan tebah Kedah wangsul malih kaki Amesisir lampah dika Ngeler ngetan lampah neki..
Aria Wiralodra tidak dapat menangkap kata-kata tembangnya, tetapi gembira karena akan bertemu seseorang. Maka cepat-cepat dia berdiri sambil menepuk Ki Tinggil, katanya:
“Paman! Suara itu datang dari arah sana,”
dengan diikuti oleh mata Ki Tinggil ditunjuknya sisi hutan yang agak ke pinggir sungai. Dugaan Aria Wiralodra tidak meleset, karena tepat dari balik semak-semak yang baru ditunjuknya itu, tiba-tiba muncul seorang tua yang langsung mendatanginya. Maka tanpa pikir panjang Aria Wiralodra bergegas menyambut.
Disalaminya orang tua itu sambil berkata :“Sampurasun wahai Kakek, tolonglah kami !”
Orang tua itu tersenyum dan dengan isyarat tangannya Aria Wiralodra dipersilakan duduk di bebatuan yang agak lebar. Setelah menyalami Ki Tinggil, diapun duduk di sisi Aria
Wiralodra.Dengan tidak sabar, kembali Aria Wiralodra berkata: “Kakek, kami pengembara dari Bagelen Nagari, telah lebih setahun menjelajahi hutan belantara mencari Sungai Cimanuk. Akhirnya kami sampai di sini bertemu dengan kakek, manusia pertama yang kami jumpai selama perjalanan. Dapatkah Kakek memberitahukan apakah sungai ini yang bernama Cimanuk?”
Perjalanan Yang Panjang Kembali sang kakek tersenyum, setelah berdehem baru menyahut. “Cucuku! Engkau bertanya padaku tentang sungai ini? Inilah sungai Citarum, termasuk wilayah Karawang.Sungai Cimanuk yang engkau cari, telah jauh terlampaui. Engkau berdua harus kembali ke timur dan ambilah jalan pesisir utara!”Selesai ucapan katanya yang terakhir Sang kakek menghilang Aria Wiralodra tertegun,
katanya: “Paman, aku menyesal belum sempat tanya nama dan asalnya.”Ki Tinggil menyahut gugup: ‘ Telah paman duga sejak kehadirannya, tetapi apapun yang terjadi kita beruntung mendapat warta. Oleh karena
itu Raden, sebaiknya kita segera berangkat!”Aria Wiralodra mengiyakan, maka berangkatlah mereka kembali ke timur arah utara, merambah hutan belukar, Dua bulan
telah berlalu, kemudian ketika kelelahan sampai pada puncaknya, secara kebetulan
mereka menjumpai sumber air. Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman. kita berhenti dahulu,
aku lihat ada sumber air jernih.
”Ki Tinggil mengangguk lesu: “Benar, silahkan Raden mandi dahulu.” Sementara Aria Wiralodra mandi, Ki Tinggil telah tertidur di bawah pohon….  (di kemudian hari tempat ini bernama Pasir Ucing, dengan sumber airnya yang dikeramatkan orang). Seminggu lamanya mereka melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan...
pada suatu hari sampailah mereka pada tempat yang terbuka. Di luar dugaan tanah tersebut memang dibuka orang. Di sana-sini terdapat pohon-pohon roboh bekas tebangan kapak. Maka bukan main girangnya Aria Wiralodra.  Katanya kepada Ki Tinggil: “Paman kita akan ketemu orang. Lihat padi gogo,palawija, dan pohon tebu.Mari kita cari peladangnya!” ‘Tunggu!” sahut Ki Tinggli sambil melompat ke arah sebatang pohon dan memanjatnya. “Ha! sambungnya kemudian, “lihatlah dia orangnya, lebih ke utara!” Sementara itu nampaknya kedatangan mereka telah diketahui si peladang, karena ketika Aria Wiralodra dan Ki Tinggil baru akan mencari jalan, peladang itu telah tiba di hadapannya, sambil berseru: “Kisanak, selamat datang di daerahku!”  “Terima Kasih!” sahut Aria Wiralodra cepat sambil mengulurkan tangannya bergantian dengan Ki Tinggil.Hendak ke manakah Kisanak sampai kesasar kemari? Mengapa cuma tinggal berdua? Ada malapetaka? Mana sisa rombongan yang lain? ”Sang Peladang bertanya tidak sabar. “Kanda!”sahut Aria Wiralodra, “kami hanya berdua,namaku Wiralodra dan ini Paman Ki Tinggil,kami berasal dari Bagelen.”
“Tunggu!” sela Sang Peladang. “Dari Bagelen?Apa ada hubungan dengan Tumenggung Wirakusuma dari Banyuurip?”
“Itulah kakak kakekku,” sahut Aria Wiralodra tidak ragu-ragu. Sang peladang tampak
terkejut lalu merangkul sambil berkata terharu: “Adikku! Engkau saudara misanku.Namaku Wirasetro. Marilah ke pondokku.berceritalah di sana.”Di pondoknya, Raden Wirasetro menjamu
tamunya luar biasa. Nasi huma yang wangi,panggang ayam hutan dan sayur bunga tebu,
dihidangkan. Raden Wirasetro membuka pembicaraan dengan menguraikan perjalanannya bersama rombongan sampai ke daerah ini, yang bernama Pegaden (yang dikemudian hari Raden Wirasetro menurunkan dalem-dalem Pegaden), kemudian iaberkata:
“Nah sekarang berceritalah adikku! Mengapa engkau sampai di sini?”
Kini giliran Aria Wiralodra menguraikan suka-duka perjalanannya. “Oleh karena itu,” kata Ki
Tinggil, “Paman mengusulkan agar kita tinggal yang lama di sini, mau mengembalikan daging
paman yang pergi, yang rupanya tidak krasan diisi dedaunan saja.”
“Bagus!” sahut Raden Wirasetro, kebetulan di rombonganku ada seorang tukang masak,
besok akan kuhidangkan nasi gurih, acar ikan tambak, dendeng rusa dan sayur asin.”
Sementara Raden Wirasetro bicara, Ki Tinggil mulutnya komat-kamit dan tangannya
mengusap-usap perut. Maka hampir bersamaan ketiganya terlawa lebar.Setelah sebulan lamanya, maka pada pagi hari,Aria Wiralodra dan Ki Tinggil minta diri sambil berjanji akan berkunjung kembali ke Pegaden pada suatu ketika, apabila maksudnya telah tercapai. Lalu mereka
pun berangkat.Dengan arah ke timur, kembali Aria Wiralodra dan Ki Tinggil memasuki hutan belantara dengan segala penghuninya. Akhirnya sampailah di tepi sungai yang lebar.  Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman kuduga inilah sungai Cimanuk!”
Ki Tinggil membenarkan, katanya: “Baik Raden,semoga kita dapat segera menjumpai orang.
Mari kita menyusuri tepi sungai ini ke utara,ke hilir.”
Namun alangkah kecewa mereka karena setelah berhari-hari perjalanan tidak seorangpun manusia yang dijumpai, bahkan setelah lebih dari satu bulan lamanya. Baru setelah Ki Tinggil mengeluh, sampailah mereka ke suatu tempat dimana ada tanda-tanda daerah itu dihuni manusia dan benar demikian. Tidak sampai seratus depa ke depan, tampaklah kebun yang subur. Aneka tanaman palawija tumbuh bersama: ubi emas,jagung, timun, lobak dan cabe ditanam berbaris berselang seling.Setelah yakin tidak ada di kebun, lalu diikutinya jalan setapak yang menuju ke tepi sungai, dugaan mereka tidak salah, dekat pada tepi sungai ada wisma kecil yang indah dikelilingi bunga srengkuni; di kanan -kiri pintu wismanya ada bunga tongkeng ; agak ke muka lagi berjajaran bunga mandakaki. 
Dan alangkah terkejutnya Aria Wiralodra dan Ki Tinggil karena baru setelah dekat sekali tampaklah pemiliknya yang sedang duduk sambil menganyam bubu penangkap ikan …. Orangnya telah tua, tetapi tubuhnva tampak tegap kuat dengan otot-otot yang menonjol. Sudah pasti kedatangan mereka telah diketahui, maka tak ayal lagi segera Aria Wiralodra bersalam: “Sampurasun Kakek,bolehkah kami datang berkunjung?”
Setelah sekian lama tidak ada sambutan,kembali Aria Wiralodra bersalam: 
“Kulonuwun Kakek, aku mohon sukalah bermurah hati,ingin kutanyakan wilayah ini dan nama sungainya.”Di luar dugaan si kakek yang tetap duduk menjawab dengan bengis: “Hai dua ekor babi,mau apa kau ini, baru datang sudah berani memeriksa. Apakah tidak tahu inilah aku Si Kaki Tani Malihwarni, pemilik kebun ini. Apa kau berdua mau coba merampokku?”
Kemasygulan Aria Wiralodra dimaklumi Ki Tinggil, maka cepat- cepat katanya, 
“Raden! Pamanpun baru menjumpai orang tidak mengenal sopan santun macam ini, tetapi hendaknya kita maklum karena dia manusia hutan.”
       Sadar akan hal ini, Aria Wiralodra melangkah lebih dekat sambil berkata: “Wahai Kakek,tolonglah kami, jauh dari Bagelen Nagari.Tidak lain yang kami cari ialah Sungai Cimanuk. Bila benar ini Sungai Cimanuk,izinkanlah kami turut berkebun. Di mana saja kami diperbolehkan?”
Kembali Kaki Tani Malihwarni membentak:
‘Tidak sudi aku menolong, aku cukup punya rakyat, lekas mampuslah kau berdua , tak sudi
aku melihatmu!”
Aria Wiralodra tidak dapat menahan amarahnya, maka serunya:
“Hai tua bangka, orang macam apa engkau ini,tidak punya hati baik mengenai kebunmu ini sekarang aku rampas, cobalah engkau melawan!”
Dengan beraninya Kaki Tani Malihwarni berdiri bertolak pinggang, kemudian berteriak lebih nyaring sambil menunjuk, “Aku tidak takut anak kecil macam kau ini, semula kau tanya daerah ini, lalu tanya sungai akhimya kau akan merampas semuanya, benar-benar berandal!”
Segera Aria Wiralodra meloncat maju dan dengan gerakan yang cepat menyambar  pergelangan tangan Malihwarni yang masih menunjuk. 

        Tetapi ternyata Si Tua cukup gesit.Mendapat serangan kilat yang demikian itu,tangannya dilempar ke samping kanan, diikuti putaran badannya, sedang kaki kirinya dari samping menendang ke leher Aria Wiralodra.Sementara mengagumi kelincahan lawannya,Aria Wiralodra segera merendahkan diri dan dengan meng-gunakan ujung-ujung jari tangannya menyerang pinggang lawan. 
Insyaf tendangannya gagal dan pinggangnya terbuka,Malihwarni lompat ke samping. Kaki kanannya ditekuk rendah ke muka, tangan kiri melindungi pinggangnya sedang tangan kanannya langsung memukul muka lawan,tetapi dengan mudah pukulan ini dapat ditangkis Aria Wiralodra dengan kibasan ke luar tangan kiri. Tidak sabar Malihwarni melanjutkan serangannya. Kaki kirinya menendang ke perut lawan dengan sepenuh tenaga. Aria Wiralodra tidak menghindar, kedua tangannya menyilang,mengacip pergelangan kaki Sang Malihwarni,
menangkapnya dan menyentakkannya ke atas,membuat seluruh tubuh Malihwarni melayang di udara, Aria Wiralodra menunggu jatuhnya Malihwarni ke tanah yang tidak kunjung tiba...

         Wiralodra dari heran menjadi terkejut,karena Sang Malihwarni menghilang . Wismanya juga menghilang . Kebunnya juga menghilang,daerah itu menjadi hutan.Aria Wiralodra cepat menguasai diri dan segera menyadarkan Ki Tinggil yang terpana. Seperti dugaannya, kemudian sayup-sayup terdengar kembali orang bersenandung Pupuh Kinanti :
yang lirih membelai ….
Eh Wiralodra putuku Mbok ora weruh ing mami Buyut Sidwn jeneng ingwang Pan dudu Cimanuk kali Lan pinasti kersaning Yang Besuk dadi desa kal-ci Pamanukan ingkang dusun Cipunegara kang kali Enggal sira anyabranga Mengko lamun sira manggih Kidang – mas inten kang soca Enggal burunen pan kaki Ing
pundi icale ivau Yaitu Cimanuii kali Benjang lamun kaki babad Poma kaki wekas mami Tetapaha qja nendra Pasti turun Ira mukti 

         Ingat akan pengalamannya di tepi Sungai Citarum, Aria Wiralodra memusatkan pendengarannya kata demi kata hingga dapat memaklumi maksudnya. Maka katanya pada Ki Tinggil: “Paman, dua kali kita telah ditolong Buyut Sidum. Pertama di tepi sungai Citarum dan kini di tepi sungai Cipunegara. Semoga kita segera dapat menjumpai kidang yang dimaksud.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil sambil bangkit,“Marilah kita berangkat!”
Dalam perjalanan, Aria Wiralodra menebak-nebak siapa Buyut Sidum itu. Tetapi tidak dapat mengingatnya. Maka katanya dalam hati:
“Orang baik itu tidak ingin dikenali, maka biarlah demikian.”
Buyut Sidum atau Ki Sidum, nama aslinya adalah Ki Purwakali dan sebutannya Kidang Pananjung. Dia adalah salah seorang pengasuh Prabu Siliwangi. Dan seperti pengasuh yang lain adalah orang bijak yang mumpuni (sakti).
Setelah mengundurkan diri dari Istana Pakuan(Pajajaran), dia kemudian mengembara ke bekas Kerajaan Tarumanagara (sungai Citarum).Di saat mudanya Ki Sidum punya saudara seper-guruan yang bemama Gagak Wirahandaka yang kemudian menjadi Tumenggung di Majapahit. Gagak Wirahandaka adalah kakek Aria Wiralodra.Setelah mengamati dan tahu bahwa Aria
Wiralodra cucu saudara seperguruannya, Ki Sidum menganggap sebagai cucunya juga,sesuai kaidah perguruan. Maka dengan caranya sendiri dia ingin memberi petunjuk kepada sang cucu menuju sungai Cimanuk.Lontar Babad Darma Ayu ( Abad XV M ) memberi penjelasan sebagai berikut: 
Pamoali sakehing iku Buyut Sidum tiang karihin Kidang Pananjung kan asma Pajajaran
asli neki Tumenggung Sri Baduga Kang katah jasa hireki 

Pada hari ketiga, Aria Wiralodra dan Ki Tinggil sampai di daerah yang terbuka, pohon-pohonan jarang dan rendah bergerumbul di sana sini. Mereka dapat memandang jauh-jauh sambil mengharap munculnya kidang yang berbulu emas dan bermata intan ….  Tetapi berlawanan dengan harapannya , tiba-tiba saja muncul harimau belang yang sangat besar yang disebut macan Lodaya, dan tampak sangat garang. Ki Tinggil terkejut sambil berteriak: “Raden! Ke mana kita menghindar?” “Paman!” tukas Aria Wiralodra. “Akan aku tanya dahulu.”Ditatapnya sang raja hutan itu sebentar,kemudian katanya: “Hai Kiyai! Apa maksudmu menghalangi perjalanan kami ?”
Harimau itu menggeram, kedua kakinya menggaruk-garuk tanah dengan kukunya dan
tiba-tiba saja , dengan sebat lompat menerkam Aria Wiralodra. Aria Wiralodra telah siaga ,
sambil menggeser ke kiri, kaki kanannya menendang lambung si Loreng. Maka tak ayal lagi harimau itu mental dan jatuh di balik belukar.
Ki Tinggil yang sementara itu sudah bersenjata sebatang kayu, mengejarnya. Di luar dugaan Ki Tinggil menghadapi bahaya lain. Dalam jarak dua depa di balik belukar tadi baru terlihat
olehnya seekor ular besar dan langsung meluncur ke arahnya. Tetapi Ki Tinggil cukup gesit, batang kayunya diputar dan jatuh dengan derasnya di kepala ular yang segera terpelanting ke dalam sungai yang lebar. 
Ki Tinggil melompat mundur dan menancapkan kakinya ke samping Aria Wiralodra, katanya gugup: “Raden! Darimana datangnya sungai yang besar itu ?”
Aria Wiralodra tidak menjawab, berfikir sejenak, kemudian diambilnya Sang Cakra Udaksana dan dibuka sarungnya. Kemudian dengan ayunan keras Sang Cakra cepat meluncur menerjang permukaan air. Hasilnya telah dapat diduga, sungai itu lenyap dan kembali menjadi belukar. Aria Wiralodra bergegas memungut senjatanya.Belum sempat Aria Wiralodra berpikir , tiba-tiba muncul seorang wanita muda yang cantik luar biasa. Dan dengan tidak ragu-ragu berlenggang mendekati Aria Wiralodra, sambil bersenandung Pupuh Sinom:
Pan kola maksih hakenya
Dereng anglapahi laki
Larawana wasta kula
Mangga jandika turuti
Sakarsa sampean niki
Kula sanggup bade tulung
Kasugian kadigjayan
Arsa kula dipun kawin
Mangga raden tampinen nyeti kaula
 
Setelah dekat dan berhadapan, si mojang berkata lembut: “Aduhai Sang Perkasa,kujumpai tuan di sini, di rimba, mau mencari apa? Namaku telah kukatakan tadi , Larawana,masih gadis, belum pernah bersuami .Terimalah lamaranku, jadilah suamiku, nanti akan kupenuhi semua yang tuan inginkan.”
Ki Tinggil cepat bertindak disentuhnya Aria Wiralodra sambil berkata, “Raden, ingatlah di mana kita kini sedang berada.”
“Aku sadar Paman,” sahut Aria Wiralodra dan sambil menghadap Larawana dia menyahut:
“Nyai! Engkau gadis ayu, sangat cantik ,membuat jantungku berdebar sampai ke hati. Hanya saja tidaklah pantas, bagi wanita secantik engkau dan masih gadis pula, tinggal di dalam hutan seorang diri. Mengenai lamaranmu, aku menyesal menolaknya, karena masih panjang perjalananku. Perkara kawin bagiku, kelak kalau sudah mulia.”
“Ah!” jawab Larawana kecewa. “Apa yang tuan katakan, kalau sudah mulia, pada saat itu sudah tidak rupawan lagi, sudah tidak perkasa lagi, sudah jadi kakek-kakek.” Kemudian suara Larawana meninggi,Sambungnya: “Kalau sudah demikian aku tidak mau, aku mau sekarang saja.”
“Menyesal, cab. ayu,” sahut Aria Wiralodra.“Jawab-anku sudah kuucapkan.”
Larawana marah, mukanya bersemu dadu,katanya geram: “Baru kujumpai, laki-laki sesombong engkau, akan kutangkap engkau berdua, hai Wiralodra!” Kata-kata Larawana diikuti tindakannya. Tangan kanannya meraih ke tenggorokan, tangan kirinya meluncur ke ulu ati, sedangkan kakinya menyiku, membuat kuda-kuda.

            ia Wiralodra telah siaga, serangan ini ditangkis dengan kibasan tangan kiri ke luar,sedang tangan kanannya menangkap pergelangan tangan kiri Nyi Larawana. Tidak terduga tangan Larawana licin seperti belut.Maka dengan sentakan kuat Larawana melepaskan diri dengan melompat mundur.Begitu kakinya menjejak tanah lalu maju lagi dengan cepat dan tangan kanannya berkelebat ke arah kepala lawan.
Aria Wiralodra menghindar dengan menundukan kepala sambil mementang kedua tangannya. 
Kesempatan ini tidak disia-siakan Larawana. Kelima jarinya yang berkuku tajam meluncur ke arah perut. Aria Wiralodra cepat miring sambil maju merapat, dan bagaikan kilat Aria Wiralodra menangkap pinggang Larawana dari samping . Bukan main terkejutnya Larawana, segera kedua kakinya diangkat dan berbareng menendang dada lawannya sekuat tenaga.Akibatnya adalah pertunjukan yang indah.Sementara Aria Wiralodra teguh pada kuda-kudanya, Larawana melesat belasan depa ke belakang, setelah berputar sekali di udara,Larawana menginjakkan kakinya dengan ringan di tanah bagaikan bidadari turun dari kayangan. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur dan di tangan kanannya anak panah yang berantai emas, lalu berseru
lantang:
“Hai Wiralodra, lihatlah senjata ranteku ini,akan kuikat engkau kini!”
Sementara ia bicara, busurnya telah dipentang kemudian melesatlah sang anak panah.Laksana besi beradu dengan baja, letupan bunga api memercik, anak panah itu patah terpental dari dada Aria Wiralodra.
“Ah Raden. Aria bagus yang Gunasakti,” kata Larawana lembut. “Aku telah bertekad mati bila tidakjadi sejoli, maka walau aku tidak dapat menangkapmu, belum tentu engkau dapat mengalahkanku. Oleh karena itu cobalah membalas dengan senjata pula. Aria Wiralodra mengambil Cakra Udaksana.Sementara Ki Tinggil menghampirinya seraya berkata: “Raden, jangan ragu-ragu, yang telak,jangan sampai meleset, perjalanan kita masih belum ada ketentuan.”Setelah mengangguk , Aria Wiralodra mementang cakra, kemudian melesat menerjang Larawana , kena ketebas lalu lenyap….
           Beberapa saat lamanya keadaan jadi sunyi. Aria Wiralodra belum mengetahui bahwa Larawana hilang. Pada saat-saat terakhir tadi dia memejamkan matanya, karena betapapun dia maklum akan diri Larawana, tetapi wujudnya adalah wanita, dia tidak sampai hati untuk menyaksikan kehancurannya.
Maka betapa dia terkejut ketika membuka matanya, bukan karena hilangnya Larawana yang telah dia pastikan, tetapi munculnya di tempat tersebut seekor kijang berbulu kuning keemasan dengan sinar matanya berkilauan bagaikan intan.“Paman, itulah Kidang Kencana!” serunya gembira pada Ki Tinggil. Lalu cepat-cepat dia mengambil cakranya. Kemudian ditolehnya Ki Tinggil yang tampak sedang menepuk-nepuk perutnya kegirangan, sambil berteriak: “Tak salah lagi, memang itulah dia!”
Merekapun bergegas membuntuti sang kidang yang lari ke arah timur.Perburuan ini memakan waktu berminggu-minggu. Walau demikian kelelahan tidak terasa karena sang kidang mengerti benar bila pemburunya memerlukan istirahat . Pada saat-saat itu sang kidang merebahkan diri menunggu pada jarak yang cukup dekat ….
Pada suatu hari yang cerah, tiba-tiba Kidang Kencana menghilang dan tidak sampai setengah hari perjalanan tampaklah sebuah sungai yang besar. Airnya deras mengalir dari selatan ke utara. Tidak diragukan lagi itulah Sungai Cimanuk. Setelah puas memandangi sungai. Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merebahkan diri di bawah pohon Kiara. Angin lembut membuat rasa mengantuk dan dalam keadaan setengah sadar kembali terdengar senandung yang tidak asing lagi, suara Ki Buyut Sidum, hanya berganti Pupuh Sinom:
Eh, putulcu Wiralodra
Iki bogus apan kali
Cimanuk kang den pilala
Wis bagjamu kaki benjing
Ing turun-turun sireki
Karsane Yang Maha Agung
Mapan oleh kamuktian
Wis katrima ing Yang Widi
Age nglilir Ki Tinggil lan Wiralodra
 
Secara serentak Aria Wiralodra dan Ki Tinggil tersadar, lalu bersama-sama sujud syukur memanjatkan puji pada Tuhan Yang Maha Esa.
“Paman!” berkata Aria Wiralodra kemudian kepada Ki Tinggil, “di sinilah rupanya tanah yang dijanjikan itu . Alangkah bahagiaku.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil. “Pertolongan Ki Sidum luar biasa, paman pernah mendengar dari eyangmu Gusti Sepuh Wirahandaka perihal saudara seperguruannya yang mengabdi ke Kerajaan Pajajaran, sedangkan beliau ke Majapahit. Paman menduga dialah orangnya.Maka itu Paman nanti akan menanyakannya.
Paman hafal ciri-ciri Ki Sidum. Sekarang Raden, marilah kita cari tempat untuk kita menetap.”
Setelah melihat kesana-kemari, akhirnya terpilih tanah yang datar dan luas di sebelah barat sungai (sekarang desa Sindang).


BABAD INDRAMAYU part 2





R.Arya Wiralodra
nyi mas gandasari
  
<< kisah sebelumnya.  

Kerajaan Siluman Pulo Mas
 

Di tanah datar dan luas itu Aria Wiralodra dan Ki Tinggil membuat pondok untuk tempat tinggal, kemudian mulailah pekerjaan besar membuka hutan. Suasana menjadi berubah dari kesunyian menjadi hingar bingar dengan runtuhnya pohon-pohon dan suara-suara binatang penghuni hutan yang ketakutan.
Keadaan menjadi lebih hiruk-pikuk dengan suara teriakan-teriakan marah bangsa makhluk
halus yang ketenteramannya merasa diusik.
Mereka langsung menyerang Serat Babad Dermayu melukiskannya dalam bentuk Macapat Pupuh Sinom:
Sampun andamel kang wisma Ki Tinggil damelan neki
Anulya amesuh raga Raden Wiralodra mangkin
Anggene babad wanadri Sima banteng warak wau
Mapan bibar katawuran Paribasa panas atis
Setan iblis prayangan bibar sedaya Senapatt Budipaksa
Miwah Patih Bubarawis Angumpul sabalanira
Miwah para kang prqjurit Kaliyan saking Tuk Giri
Gede muara Cimanuk Kalangkung sanget dukanya
Saking bala bubar mangkin Kenging Raden Wiralodra babad wana
Siluman lan jurubiksa Sakehe para dedemit
Saking gedeng Girimuka Sadaya pan sami dugi
Sangking Wangkang Bqjulrawis Cemara pan Giribqjid
Tempalang Bedawangkara Pan rame Pqjuning Jurit
Sami tempuh ing yuda lan Wiralodra
 

Keributan antara Aria Wiralodra dengan makhluk halus itu diketahui oleh penguasa Lautan Selatan Nyi Mas Dewi Ratu Kidul, yang segera mengutus Kalacungkring, hulubalang dari Tunjung Bang, untuk menyelesaikan perselisihan.Sang Hulubalang segera menemui Raja Pulo Mas Werdinata.Di bawah ini, lagi satu bait lainnya dari Serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Sinom):
Dugi anang Werdinata
Aja pada den ganggoni
Iku Raden Wiralodra
Krana turun Majapahit
Becik den raksaha iki
Pada akunen sedulur
Krana masih pernah canggah
Ratu Kidul Gusti mami
Nulya enggal Werdinata caos ngarsa
 

Bergegas Raja Werdinata menghadap Aria Wiralodra.Sementara itu . melihat rajanya datang, seluruh bala siluman duduk di tanah.Sambil berlutut. berkata Raja Werdinata:
“Raden! Maafkan kelancangan wadyabalaku.Aku.…Werdinata. Raja Pulo Mas Muara Sungai
Cimanuk menghaturkan salam bhakti.”
Masih dalam keheranan, Aria Wiralodra menjawab: “Werdinata! Bangunlah ! Akusungguh sangat gembira berjumpa denganmu dan aku maafkan para prajurit yang memerangiku”.
Sambil bangun Raja Werdinata berkata:“Terima kasih, kulihat Raden begitu tulus,maka aku mohon sukalah Raden bermurah hati untuk mengangkat saudara denganku seketurunan masing-masing.

”Aria Wiralodra terdiam, kemudian katanya lembut, “Werdinata, pahami kesulitanku,
karena menurut ketentuan agama yang aku anut yaitu Islam tidak bisa mengangkat saudara
dengan yang bukan Agama Islam.”Di luar dugaan, cepat Raja Werdinata menjawab: “Raden, Islamkan aku sekarang juga!” Aria Wiralodra terperanggah kemudian katanya gembira: “Subhanallah! Baiklah, Paman Tinggil jadi saksi. Kemarilah Werdinata!”
Sambil melangkah maju, Raja Werdinata berseru kepada Wadyabalanya: “Kepada rakyatku yang akan masuk Agama Islam,duduk di belakangku!” Maka seluruh Wadyabala Siluman bergeser dan duduk bersimpuh di belakang Sang Raja. Setelah upacara peng-Islaman dan pengangkatan
saudara selesai, Aria Wiralodra berkata nyaring:
“Raja Werdinata sejak saat ini menjadi Sultan Werdinata, daerah kekuasaannya dinamakan Kasultanan dan rakyatnya disebut Bangsa Jin.”Kemudian sambungnya lembut pada Sang Sultan: “Pengangkatan Sultan ini harus disyahkan oleh kekha-lifahan bangsa Jin di Turki, mintalah ke sana, kapan saja engkau ada waktu.”
Setelah minta ijin kepada Aria Wiralodra, Sang Sultan menyuruh rakyatnya bubar, sehingga tinggallah mereka bertiga.Kemudian kepada Sang Sultan, Aria Wiralodra menceritakan asal-usul dirinya. Setelah itu dia berkata:
“Saudaraku Sultan, sekarang ceritakan asal-usulmu!”
Maka Sultan Werdinata membuka kisahnya:
“Raden, aku adalah Qarin-pendamping dari seorang kesatria berbudi luhur-yang bernama Jaran Sari pada tiga abad yang lalu, yaitu pada masa awal kerajaan Majapahit. Jaran Sari ikut perlombaan ilmu Kanuragan Kerajaan untuk memperebutkan putri raja dan Pangkat Senopati Agung.
“Dia memenangkannya, tetapi karena kelicikan saudara kembarnya yang bernama Jaran Purnama, dia tewas. Aku bersumpah untuk tidak meninggalkan jasadnya sebelum menjadi rusak. Kemudian ‘aku’ dilarung di atas rakit ke sungai, lalu ke laut, yang akhirnya terdampar di dekat muara sungai Cimanuk.Aku melihat banyak sebangsaku di sana yang beramai-ramai menyeretku ke tepi pantai,mereka tidak melihatku, kemudian mereka melapor kepada Sang Penguasa Ki Buyut Keci di Dalem Agung Pulo Mas.
“Tidak berapa lama datanglah dia dan langsung melihatku seraya berkata, ‘Menyatulah dan
bangunlah anakku!’
“Setelah aku bangun dia berkata: ‘Namamu sekarang Werdinata. Engkau akan kukawinkan dengan anakku Si Andayasari, yang telah mimpi jadi jodohmu. Tak usah khawatir, engkau pasti
suka, anakku sangat cantik.’ Dan kata-kata Ki Buyut Keci benar; putrinya sangat cantik , lalu
aku kawin. Kemudian aku dijadikan Raja Pulo Mas*), menggantikan mertuaku Ki Buyut Keci.
Catatan KakiLetak Bangunan Istana Agung Pulo Mas di Kramat Krapyak-Pulo Mas, Sentigi Kulon.

Tepatnya dari jalan utama antara Sentigi Kulon-Cangkring. Pada blok Karang Balong, ada jalan
masuk ke arah tenggara di tepi Kali Kepiting ;ditandai dengan sebuah gumuk pepohonan
betah satu rumpun dengan pohon beringin.Keraton Kaputren Nawang Wulan terletak di Pulo Karas, 1 Km ke arah timur Pulo Mas sebelum Pulo Kuntul. Jalan menuju Pulo Karas bisa langsung dari Sentigi Wetan atau Sentigi Sawah. (Ki Jongkara tinggal juga di sini).
Keraton Kaputren Wiragora terleak di muara sungai Cimanuk (Ki Budi Paksa juga tinggal di
sini).“Dalem Agung Pulo Mas aku bangun menjadi bentuk istana yang besar, seperti Istana Majapahit. Peme-rintahanku meniru Kerajaan Majapahit, Wilayahku diperluas sehingga meliputi pantai dan hutan rawa, serta sungai-sungai yang mengalir ke pantai Laut Jawa bagian barat.
“Aku punya anak perempuan dan laki-laki yang kuberi nama Nawang Wulan dan Wiragora. “Itu saja Raden perihal diriku.”
 

Pengakuan Dari Galuh Nagari

Beberapa minggu setelah membuka hutan dan menanam palawija Pondok Aria Wiralodra kedatangan tamu tujuh orang, dari Dukuh Bungko secara bersama-sama. Berturut turut bernama: Pulaha, Wanasara, Bayantaka,Puspahita, Jayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Mereka bercerita, bahwa kakek dan ayah mereka bermukim tidak jauh dari tempat ini, sebagai petani, peternak dan nelayan.Tanahnya subur dan ikannya melimpah, tetapi,mereka selalu ketakutan oleh gangguan jurubiksa dari muara Sungai Cimanuk.
Sekalipun sudah banyak sesaji tetapi tetap saja diganggu, bahkan pada siang hari sering memperlihatkan diri. oleh karena itu mereka pindah.
Seminggu yang lalu mereka mendengar dari si pemberani Pulaha, yang sedang berburu rusa, bahwa ada yang sedang membuka hutan di dekat bekas pemukiman kakeknya. Mereka ingin menanyakan, apakah para pembuka hutan tidak diganggu prayangan?
Aria Wiralodra menceritakan apa yang terjadi dan menjamin mereka tidak diganggu kalau mereka mau tinggal di sini. Maka hanya dalam waktu satu tahun penduduk telah mencapai
200 jiwa. Kemudian dibentuklah pemerintahan lokal dengan Ki Tinggil sebagai lurah, dibantu oleh para bakusuku, yaitu: Pulaha, Puspahita,Wanasara, Bayantaka, Surantaka, dan Puspataruna.
Selesai mengatur pimpinan dusun, Aria Wiralodra pergi ke Galuh Nagari, di kaki Gunung Cereme, menghadap “Gubernur”Pajajaran wilayah timur, Hyang Prabu Cakraningrat. Aria Wiralodra diterima di Istana oleh Sang Gubernur dengan sangat ramah. Setelah Aria Wiralodra menguraikan jati-dirinya, Sang Prabu berkata: “Wiralodra, aku senang engkau menghadapku. Aku tidak menduga hutan Cimanuk telah berpenduduk lagi. Lebih dari setahun pelabuhan Cimanuk ditinggal pergi begitu saja oleh syahbandar dari pusat kerajaan Pajajaran, sehingga kini menjadi tanggung jawabku, tetapi aku belum siap dengan orang-orangku,”
Berhenti sebentar, kemudian lanjutnya:
“Berapa rakyatmu di sana sekarang?”
“Seratus sembilan puluh lima orang, termasuk anak-anak, Yang Mulia.”
“Cukup,” kata Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu memanggil Patih Bangong.
Katanya: “Paman Patih, persiapkan penobatan Adipati Praja Cimanuk besok di Balairung !”
Lalu katanya kepada Aria Wiralodra: “Sekarang istirahatlah!”
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih atas kepercayaannya, dia diantar dayang
dayang ke Wisma Dalem.Sementara itu , dipimpin oleh Mantri Dipasara,balairung dipersiapkan untuk upacara besar.Keesokan harinya, di balairung Istana Galuh Nagari, pelantikan dilaksanakan dan berlangsung sangat megah.
Aria Wiralodra mendapat gelar Aria Indrawijaya dari Hyang Prabu Cakraningrat. Kemudian Sang
Indrawijaya diiring Patih Bangong, Senapati Surabangsa dan Mantri Dipasara menuju tempat duduk para Sang Hyang untuk menerima restu dari Sang Hyang Pande Wawangi, Sang Hyang Sutem, Sang Hyang Pundi Wungsi, Sang Hyang Egal, Sang Hyang Gempol,Sang Hyang Dora dan Sang Hyang Bugel.
Upacara berlanjut dengan kesenian sampai siang hari (ini terjadi pada tahun 1432 Saka atau 1510M).
Setelah semua acara usai, Aria Wiralodra mohon diri. Bersama Aria Danujaya dari Istana Galuh Nagari, yang akan menjabat sebagai Patih, merekapun berangkat.
Lontar Babad Darma Ayu (abad ke XV M)
mengenai peristiwa ini menulis :
Bismillahir rokhmanir rokhim
Aum awignan astu
Akala noma Prabu Cakraningrat
Hong jian siwah bqja
Bayanalca tamar swana maswala
Mara sia jama sujana manta slano slaha
Ahang kona restikane sedia hayu
Swan Wiralodra peparab Indrawijaya
 

Setiba di Dukuh Cimanuk, Aria Wiralodra mengu-mumkan bahwa mulai saat ini Dukuh Cimanuk menjadi daerah Keadipatian Galuh Nagari dan dia ditunjuk sebagai Sang Adipati.
Lontar yang sama menulis lebih lanjut sebagai berikut:
Akyana ataking srana
Wiralodra mangun nagri
Dukuh Cimanulc namanya
Sakulon Cimanuk kali
Aparawira hireki
Mangadi sentana wau
Raja Galuh Cakraningrat
Prabu Angukus Prqja Sri
Apta aswara ing candra sangkala nira
Awit wijiling locana
Bermara angleng ing tawing
Kang lembu pedet nusunya
Jong layar semengkeng wukir
Kuda ngerap pandengan ing
Candraning sengkala taun
Amangun nagara Nira
Nulya Wiralodra kaki
Hqjejuluk Prabu Indrawijaya
Raja Galuh Gusti Nira
Danujaya apepatih
Pulaha Lan Wanasara
Bayantaka Surantaki
Puspataruna tumali
Puspahita Bahusuku
Ki Tinggil kang dadi lurah
Sedaya samiya prapti
Nulya den tilar Gusti nira caos jeng Rama


Tamu Agung dari Kerajaan Palembang
 

Setelah secara resmi Aria Wiralodra menjadi penguasa Praja Cimanuk, dia akan melapor kepada Sultan Demak. Maka pada suatu hari,Sang Penguasa memanggil KiTinggil, katanya:
“Paman, aku bermaksud akan pergi ke Bagelen, sudah terlalu lama meninggalkan Ibu dan Rama. Sementara tinggallah Paman di sini.Bila datang orang mau berladang atau berkebun, Paman terimalah. Aturlah di mana mereka ditempatkan dan bantulah bergotong royong membuat rumahnya. Jangan sampai ada yang ditolak.”
“Raden,” sahut KiTinggil, “Painan harap jangan terlalu lama. Karena apabila penduduk makin
bertambah-tambah juga, maka Paman Tinggil akan terlalu sibuk.”
“Paman,” Aria Wiralodra memberi petunjuk,
“apabila penduduk belum mencapai 500 orang Paman yang menjadi lurah dan angkatlah beberapa bakusuku sesuai kebutuhan.Sedangkan bila lebih banyak lagi, angkatlah lurah sesuai ketentuan, tetapi sesaat sebelumnya Paman kuangkat jadi demang secara langsung tanpa menunggu aku.”
“Akan Paman laksanakan,” sahut Ki Tinggil.
Kemudian Aria Wiralodra minta Ki Tinggil bijak dan hati-hati menjaga penduduk.
Setelah siap segala sesuatu yang akan dibawa,maka berangkatlah Aria Wiralodra menuju Demak untuk memberi laporan, kemudian baru ke Bagelen.
Sepeninggal Aria Wiralodra, pendatang-pendatang baru menjadi makin bertambah banyak. Rombongan demi rombongan datang dari berbagai dusun yang jauh di sebelah timur seperti Junti dan lain-lain.
Maka hanya dalam beberapa bulan saja Praja Cimanuk telah mencapai cacah jiwa 500 orang.
Hal ini bisa dimaklumi karena kesuburan tanahnya mulai dikenal, akibat lumpur dan humus yang dibawa oleh banjir bandang sungai Cimanuk masa lampau.
Perumahan mulai diatur menurut pola Kotapraja di Majapahit, jalan-jalan besar kecil lurus-lurus dengan gardu-gardu penjagaan di tiap mulut jalan masuk.
Penduduk bersuka-cita dengan peraturan-peraturan yang rapih dan hidup dalam serba kecukupan.
Maka pada suatu hari, datanglah ke rumah Ki Tinggil, seorang wanita langsing, berkulit kuning langsat, yang cantik luar biasa, dengan pengiringnya sepasang suami istri, menggotong padi dan gundem. Mereka diantar oleh penjaga gardu yang setelah menunjukan rumah Ki Tinggil segera kembali ke tempat tugasnya.
Ki Tinggil yang kebetulan ada di rumah, segera menyambut, katanya: “Nyai dan pengiringnya
silahkan masuk!”Setelah duduk, kembali Ki Tinggil berkata:
“Bagi tamu yang baru datang, bolehkah Paman mendapat tahu nama, asal serta maksud
kedatangan Nyai?”
“Paman,” sahut wanita itu , “namaku Endang Darma dan pengasuhku ini bernama Ki Tana dan Nini Tani. Kami pengembara dan bermaksud, kalau diperbolehkan ingin melihat tanah di sini untuk berkebun atau berladang.”
KiTinggil segera menjawab: “Nyai Endang serta engkau Tana dan Tani, dengan senang hati kami terima. Silahkan mau pilih tanah di mana saja, di sebelah barat sungai yang sudah berpenduduk atau sebelah timur. Sungguh sayang sekali Gustiku Raden Aria Wiralodra sedang ke Bagelen, tetapi begitulah perintahnya agar semua pendatang harus diterima.”
Ki Tinggil melihat kekecewaan di wajah tamu cantiknya. Tentu saja pikirnya, ini sebab “tiadanya Gustiku tadi”. Oleh karena itu Ki Tinggil makin curiga siapa tamunya kali ini,karena terlalu jelas kebangsawanannya. Ki Tinggil mengharap semoga akan menjadi garwa gustinya.
Dia agak terkejut karena lamunannya dipecah suara Nyi Endang Darma: ‘Terima kasih Paman,
kami akan segera mencari sendiri dan nanti kami akan melaporkannya.”
Pujian dan angan-angan Ki Tinggil dilukiskan dalam Babad Dermayu/macapat Pupuh Sinom:
Ayu mulus kang salira Mandanapa gusti mami
Kangge garwane bendara Nanging benjing
ndara mami Yen ngrawui anang riki Tamtu aku
nuli matur Manda bungae Bendara Ningali
wong ayu luwih
Mapan sampun Endang Darma damel wisma


Nyi Endang Darma memilih tanah di sebelah timur sungai agak jauh ke utara. Kemudian minta diijinkan untuk mendirikan rumahnya yang terpencil di sana.
Karena Ki Tinggil mempunyai gagasan “calon garwa gustinya” maka permintaan Nyi Endang
Darma dikabulkan.Pilihan tanahnya tepat, karena ternyata beberapa bulan kemudian ladangnya lebih unggul dari yang lain. Maka banyaklah orang-orang tani minta petunjuknya. Di luar dugaan
orang banyak, Nyi Endang Darma adalah pula seorang pendekar wanita, guru silat. Maka pada akhirnya lebih banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru silat dari pada belajar bercocok tanam.
Hal ini membuat tambahan teka-teki bagi Ki Tinggil, siapa sebenarnya Nyi Endang Darma ini. Namun demikian Ki Tinggil, merasa senang karena silat adalah bagian dari ilmu bela negara, bila kelak diperlukan. Oleh karenanya Perguruan Silat Nyi Endang Darma mendapat dukungan Pemerintah Ki Lurah Tinggil.Maka pada suatu hari, dengan tidak diduga merapatlah di dermaga Sungai Cimanuk sebuah kapal Kerajaan Palembang yang cukup besar Kecurigaan kapal tersebut dikuasai perompak dapat dimengerti, karenaberita perompakan di laut sering terjadi. Makasetelah Ki Tinggil mendapat laporan, dengan cepat barisan penduduk bersenjatakan tombak
dan panah yang dipimpin oleh bahusukunya masing-masing, membuat setengah lingkaran terhadap dermaga, Ki Tinggil sendiri memimpin pasukan induk di tengah-tengah.
Tidak berapa lama, keluarlah tiga orang utusan dari kapal yang segera disambut oleh Ki Pulaha. Salah seorang utusan itu berkata dengan nyaring: “Gusti Sepuh mantan Sultan Palembang, Pangeran Guru Arya Dila ingin bertemu dengan pesirah dusun ini!”
Ki Tinggil terkejut mendengar disebutnya nama Pangeran Guru Arya Dila. Maka katanya:
“Pulaha mundurlah, aku akan menemuinya!”Sementara Ki Tinggil keluar dari barisannya,
Aria Dila pun keluar dari kapalnya. Lalu bertemu di tepian dermaga. Setelah saling memberi hormat dan bicara sebentar, Aria Dila dan Ki Tinggil masuk ke dalam kapal.
Sepemakan nasi kemudian Ki Tinggil telah keluar lagi dari kapal.
Dengan isyarat tangannya para bahusuku segera berkumpul, kemudian katanya singkat:
“Bubarkan seluruh lasykar dan semua bahusuku segera berkumpul di rumahku!”
Dengan tidak menunggu lagi Ki Tinggil bergegas pulang.
Dalam waktu yang singkat semua bahusuku telah berkumpul. Maka segera berkata Ki Tinggil: “Duduklah saudara-saudaraku! Karena apa yang akan kusampaikan ini kisahnya agak panjang.”
Dengan gelisah para bahusuku menanti apa yang akan diutarakan lurahnya.
Kemudian Ki Tinggil melanjutkan ceritanya:
“Jadi, benarlah yang tadi keluar dari kapal itu adalah mantan Sultan Palembang, yang aku mengenalnya sebagai Pangeran Guru Aria Dila.Dia adalah putra Raja Majapahit Prabu Wikrama Wardana dengan selir Putri Cina yang bernama Endang Sasmitapura.
“Pangeran Aria Dila diangkat oleh Sang Prabu jadi ‘Raja’ Palembang dan mendapat selir Putri
Cina yang sedang mengandung, yang ketika lahir di Palembang diberi nama oleh ibunya JinBun, tetapi oleh Pangeran Aria Dila diberi nama Raden Fatah.
“Beliau juga terkenal sebagai pendekar silat sejak remaja dan menjadi guru besar Perguruan Silat disamping sebagai Sultan Palembang.
“Membantu Raden Fatah setelah dewasa,Pangeran mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan pengerahan tenaga-tenaga ahli dan prajurit-prajurit Palembang secara besar-besaran.
“Pangeran kemudian turun tahta, dipecat oleh Majapahit Sang Prabu Girindrawardana atas tuduhan merebut istri orang dan memihak musuh Majapahit, yaitu Demak. Sekarang Pangeran Aria Dila dalam perjalanan pulang ke Demak dan singgah ke tempat kita, Dusun Cimanuk, dengan tujuan menangkap Nyi Endang Darma. Tuduhannya, ‘melanggar hukum persilatan’ yaitu mengajarkan silat untuk para wali, raja -raja dan para pangeran kepada rakyat biasa apalagi penduduk dusun-hutan.’
“Aku tidak mengerti, entah darimana Pangeran Guru mengetahui bahwa di Dusun Cimanuk ini ada guru silat wanita mengajarkan jurus-jurus silatnya sama dengan silat perguruan sang guru.
“Sebelum kapalnya sandar, kemaren, seorang murid utamanya diturunkan dari kapal dengan
perahu dayung untuk mencuri lihat murid-murid Nyi Endang Darma berlatih silat.
Hasilnya meyakinkan, benar silatnya sama.“Menurut silsilah keluarga, Pangeran Guru Aria Dila,
adalah kakek samping Gusti kita Aria Wiralodra. Aku membujuk, bahwa Nyi Endang Darma seorang muslimah yang taat dan sangat kasih kepada sesama. Suka menolong dan membela yang benar, bila ada terjadi perselisihan di antara rakyatku. Pada akhirnya dia memberi kesempatan, lolos dari hukuman mati apabila memberi penjelasan siapa nama gurunya.
“Aku putus asa, karena aku yakin Nyi Endang,hanya mau membuka rahasia, kepada Gusti
kita.
“Akupun tidak bisa mengetahui jati diri dan tujuannya.”
Ki Tinggil kemudian merenung cukup lama lalu katanya: “Aku tahu. Nyi Endang bukan hanya
pesilat ulung, tetapi juga punya kesaktian kelas satu. Lihatlah kedua pengiringnya Ki Tana dan Nini Tani, berdua adalah sepasang pendekar yang sulit dicari tandingannya.
Secara tidak sengaja aku melihat mereka berlatih. Tetapi aku masih merasa Pangeran Guru bukan tandingan Nyi Endang.
“Maka kalau Nyi Endang kena ditangkap Pangeran Guru, aku sangat kecewa. Secara jujur aku ingin membantunya melawan Pangeran Guru.
“Selain itu melihat besarnya kapal mereka,lasykar yang dibawa sekitar seratus orang dan ini seimbang dengan kekuatan murid Nyi Endang Darma.”
Di pihak Palembang, mereka adalah prajurit ahli perang yang juga pesilat-pesilat. Di pihak Nyi Endang, mereka jua pesilat-pesilat yang tangguh yang secara langsung dibawah pimpinan Tri Tunggal.
Ki Tinggil diam sebentar, kemudian bertanya:
“Saudara-saudaraku, apa pendapat kalian ?”
Mendapat pertanyaan seperti itu semua bahusuku terdiam, kemudian sekali Pulaha berkata: “Ki Lurah, apakah tidak lebih baik kita menyusul Gusti Aria Wiralodra?”
Ki Tinggil mengangguk, katanya: “Pulaha benar, cuma saja laporan kepada Gustiku haruslah lengkap,harus sudah ada kepastian bagaimana akhir persoalan ini. Perjalanan ke Bagelen akan
memakan waktu, sehingga tidak menolong persoalannya. Maka terpaksa kita menunggu dan melihat saja.


jadi kepada Pangeran Guru aku telah menyatakan para petinggi dusun tidak akan mencampuri persoalan selagi tidak menjadi rusuh dan baru akan bertindak bila warga dusun kami terancam dan Pangeran Guru hanya memandangku dengan tersenyum Pada saat Ki Tinggil mengadakan pertemuan dengan para bahusuku di rum army a, maka di lain tempat Pangeran Guru dengan dikelilingi oleh 24 orang pendekar utama, yang bersenjatakan belati di pinggang kiri dan kanan serta diiringi 50 orang prajurit bersenjata tameng di tangan kiri, tombak di tangan kanan dan pedang di pinggang,bergerak maju ke wisma Nyi Endang Darma.
Melihat gerakan Pangeran Gum menuju ke arah wisma Nyi Endang Darma, maka tanpa ada yang memerintah, murid-murid Perguruan Nyi Endang, mendahului untuk menjaga wisma Sang Gum secara tersembunyi.
Tamu Agung telah tiba lebih dahulu daripada Ki Lurah Tinggil serta para bahusuku.
Kebetulan Nyi Endang Darma sedang berada di wismanya, maka bukan main terkejutnya didatangi para bangsawan beserta barisan prajurit. Terbata-bata dia menyambut, katanya:
“Beruntung hamba mendapat kunjungan tamu agung. Hamba persilahkan masuk!”
Pangeran Guru tertegun melihat kecantikan Nyi Endang Darma, maka katanya tidak sadar:
“Sayang … sungguh sayang … Nyi Endang Darma tidak mengerti.”
Maka sahut Nyi Endang Darma: “Maafkan Tuan, hamba merasa cemas atas kedatangan Tuan, maka bolehkah hamba mengetahui siapakah Tuan, dari negeri mana, dan apa maksud Tuan, yang nampaknya mau maju perang?”
Arya Dila tidak menjawab, dia melangkah masuk diikuti oleh empat orang murid utamanya.
Bersamaan dengan itu rombongan Ki Lurah Tinggil datang dan tanpa bicara dia ikut masuk sambil berseru: “Nyi Endang, aku juga datang!”
Dengan muka cerah Nyi Endang menjawab:
“Paman, aku sangat gembira atas kedatangan Paman.”
Kemudian Ki Tinggil duduk di sampingnya.Dengan menghadap kepada Nyi Endang .
Pangeran Guru mulai membuka pembicaraan:
“Nyai Ayu, namaku Arya Dila dan orang-orang menamakan Sultan Sepuh atau Pangeran Guru.
Asalku dari Palembang Nagari. Setengah tahun yang lalu aku mendengar namamu dari salah
seorang muridku nakhoda kapal layar yang singgah di sini untuk membeli perbekalan. Dia mencuri lihat muridmu sedang berlatih silat dan terkejut karena jurusnya sama seperti ajaranku. Kemudian dia melapor padaku. Kemaren, sebelum kapalku sandar, kusuruh muridku mencuri lihat muridmu berlatih,maka aku menjadi yakin kebenaran laporan itu. Selanjutnya engkau tahu pertanyaanku.”
Setelah berhenti sebentar katanya:
“Pertanyaanku:
“Pertama. Mengapa demikian lancang mengajarkan silat yang hanya boleh terhadap golongan terbatas, kepada rakyat biasa?
“Kedua. Siapa nama guru silatmu, apakah disuruhnya atau tanpa sepengetahuannya?
“Ketiga. Apa maksud dan tujuanmu yang sebenamya?
“Keempat. Pihak mana atau siapa yang akan engkau hadapi sebagai lawan?
“Kelima. Siapa dua orang tua di belakangmu itu, tugas dan asal usulnya?”
Setelah terdiam agak lama, dan perhatian semua orang tertuju pada Nyi Endang Darma,
dia menjawab lirih: “Hamba, Endang Darma minta maaf karena tidak dapat menjawab satupun dan lima pertanyaan tadi,karena hamba sudah bersumpah hanya akan menyampaikan perihal ini kepada Gustiku Adipati Aria Wiralodra yang punya kekuasaan di negeri ini, yang sementara ini hamba sedang menunggunya.”
Pangeran Guru marah besar, mukanya merah kelabu, katanya lantang: “Benar dugaanku, menggunakan kecantikan untuk menarik murid, kecantikan dayang umbaran!”
Nyi Endang adalah seorang guru, dihina demikian rupa, darahnya mendidih, hanya karena dirinya dibilang cantik, maka amarahnya sedikit mereda, katanya hambar:
“Pangeran Arya Dila adalah Guru dari negeri besar Palembang, sayang tidak punya sopan santun, tetapi aku tidak menghendaki keributan, aku menghormati Ki Lurah Tinggil, maka dipersilahkan Pangeran beserta pengikutnya meninggalkan pondokku!”
Babad Dermayu menggambarkan perdebatan tersebut di atas dalam keindahan Pupuh Sinom sebagai berikut:
Kari-kari Endang Darma Paksa lumancang awani
Dadi guru kaya ingwang Apa kadiran sireki
Wong ayu tur lenjang kuning Oranana pada
nipun Kaya ayune Ndang Darma Dayang
umbaran sireki Ora nganggo tatakramaning
wanodya Kqji sakti – saktia sira Utawa guna
luwihi Lancange kaliwat-liwat Tan karuan nagri
neki Tanana manusia iki Kaya tingkah pan
sireku Ambales sabda Nyi Endang Duh eman
ning rupi Gusti
Langkung sae pideg sarupi sumbada
Ananging sugal wecana
Boten wonten basa liri
Mungguh pandakwa pangeran
Matur esta kang sayekti
Bade punapa Gusti
Mapan wisma datan nyambut
Utawi ka reh ning karya
Ning wengkon paduka gusti
Bade napa sumangga derek pUcersa
Endang Darma datan serab
Utawi qjrih ningali
Sakayu kayu ning adang
Semah neda den sugui
Bedama pucuking keris
Utawi sakti ning guru
Mangga gusti kersandika
Sagending abdi ladosi
Lamun kawon mapan kula ora wirang
 

“Endang Darma, tutup mulutmu!” teriak Arya Dila sambil memberi isyarat kepada salah seorang muridnya, maka melompatlah seorang yang bernama Wisanggeni, menangkap Nyi Endang Darma. Tetapi dengan lincahnya Nyi Endang lolos dan melesat ke luar wisma sambil berseru:
“Para tamuku yang ingin dijamu ujung wrayang, majulah!”
Maka berlompatanlah para murid Arya Dila keluar dan segera mengurung Nyi Endang Darma. Tetapi lingkaran yang rapat itu buyar kembali, karena dari setiap penjuru tiba-tiba bermunculan pengikut-pengikut Nyi Endang Darma yang telah siaga tempur. Murid-murid Arya Dila mundur secara rapih, lalu membentuk barisan perang.
Sementara itu Nyi Endang menimbang-nimbang dalam hatinya: ‘Murid-murid Pangeran Arya
Dila bukanlah orang-orang sembarangan.
Kecuali Tana dan Tani, mereka bukanlah tandingan murid-muridku yang masih baru. Maka kalau dibiarkan seluruh murid - muridku bertempur, akan banyak kerugian di pihakku, ini berarti kerugian tenaga bagi Dusun. Berarti pula aku bersalah pada Ki Lurah Tinggil yang baik hati.’
Memikir demikian maka dia mengambil keputusan berhadapan dengan musuhnya bersama Ki Tana dan Nini Tani. Kemudian serunya: “Murid muridku tidak diper-bolehkan membantu, ini urusan kami bertiga.”
Perintah gurunya segera ditaati, satu persatu segera mereka mundur, lalu mengambil tempat di belakang gurunya, sambil mewaspadai barisan prajurit yang membuat barisan setengah lingkaran di belakang Pangeran Arya Dila. Sedangkan Ki Tana dan Nini Tani telah siaga di kanan-kiri Nyi Endang.Sementara kedua belah pihak masih dalam persiapan tempur, Ki Tinggil maju ke depan
sambil berseru: “Hormatilah perang tanding secara kesatria!” Lalu dia kembali bergabung dengan bahusukunya.
Kemudian lima orang murid Arya Dila yang bernama Wisanggeni, Bramakendali,Bratakusuma, Kramadenta dan Sumalaga telah menghunus pedang lantas saja maju menyerang satu sasaran, yaitu Nyi Endang.
Karena Ki Tana maupun Nini Tani melangkah mundur, walaupun tidak menurunkan kewaspadaan. Suatu keputusan yang salah menganggap terlalu rendah murid-murid utama Pangeran Guru .
Nyi Endang coba merampas pedang Bramakendali, tetapi Bramakendali termasuk murid tertua Arya Dila. Pedangnya diputar mengarah sambaran tangan Nyi Endang dan langsung menebas. Baru saja Nyi Endang berhasil mengelak, empat pedang menyambar dari segala arah, maka terpaksa dia menjatuhkan diri dan dengan sebat selendangnya dikebut melilit tangan Wisanggeni, kemudian ditarik ke arah ujung-ujung pedang. Tentu saja keempat murid Arya Dila yang lain menjadi terkejut dan cepat-cepat menarik kembali pedang-pedangnya.
Kesempatan ini dipakai oleh Nyi Endang untuk melesat bangkit sambil mencabut patrem dari
gelung rambutnya, tetapi di lain pihak murid-murid Arya Dila yang telah terlatih dalam ilmu perang, kemudian secara serentak mencabut belati dan melontarkannya.
Nyi Endang mahir berkelahi tetapi tidak mengerti ilmu perang, maka mendapat serangan lima belati secara hampir bersamaan,dia hanya bisa lolos dari dua belati,menyampok dua yang lain dengan patremnya dan bret … satu belati dapat merobek bajunya cukup lebar, dengan luka tipis tergores di pinggangnya.
Ki Tana dan Nini Tani tersadar membiarkan Nyi Endang bertempur sendirian, mereka lengah
karena mengawasi para pembokong. Kini trio pendekar turun ke arena membuat bentuk
segitiga dalam jarak dua depa. Sementara itu Nyi Endang yang merasa terhina tangannya
menggetar, patremnya mendesing dan hanya beberapa gebrakan kemudian, Bramakendali
yang melontar belati tersebut telah roboh binasa …
.

tewasnya Bramakendali menimbulkan kemarahan yang besar di kalangan murid-murid Arya Dila. Tidak kepalang tanggung segera sepuluh orang lagi maju melibatkan diri dalam pertempuran, dan lantas saja serang menyerang jadi tambah gencar. Nyi Endang tidak lagi menganggap rendah murid-murid Arya Dila, maka gerakannya jadi gesit luar biasa. Tubuhnya berkelebatan ke segala arah,menikam ke muka, menendang ke belakang,memukul ke samping, menangkis sambil berguling ke tanah ataupun melesat jumpalitan di udara. Setiap kali satu atau dua bahkan tiga
sekaligus murid Arya Dila roboh tewas.Ki Tana dan Nini Tani hanya mempunyai tugas melindungi Nyi Endang , maka tidak menyerang musuh hingga tewas. Nini Tani membuat perlindungan bagi Nyi Endang dengan gerakan tangannya, yang berputar seperti payung pelindung. Gerakan-gerakan yang dilakukan dengan kecepatan tinggi ini tidak lepas dari mata Ki Tinggil. Maka tidak sadar mulutnya mengucap: “Ah, Ni Pohaci berpayung emas.”
Kemudian ketika giliran Ki Tana yang diawasi,sekali lagi terucap: “Simah rempag; ah setengah hati!”
Kini ada titik terang bagi Ki Tinggil untuk menebak, siapa sebenarnya mereka.
Ki Tana dan Nini Tani dapat dipastikan menggunakan Silat Pajajaran. Kesimpulannya baru separuh: Silat Pajajaran-Walangsungsang- Nyi Endang Darma.
Lalu apa tugasnya, kemudian diputuskannya sendiri. ‘Nanti saja, aku harus perhatikan
jalannya pertempuran,’ kata Ki Tinggil dalam hati.
Setelah Bramakendali tewas, berturut-turut atau bersamaan tewas adalah Akhmad, Khusen,
Rakhmat, Ngali, Winata, Adinegara, Girinata,Singantara. Kusumanata, Sumalaga,Kramasuganda, Muralim, Nitikusuma,Bramatanaya, Jakakusuma, Bramabrata.Kramadenta, Bramakesuma, Kusumadilaga,Bramawijaya, Bratakusuma dan Wisanggeni.
Kejadian ini di luar dugaan Pangeran Guru Arya Dila, maka bukan kepalang gusarnya,dengan suara nyaring dia berseru: “Endang Darma, tahan dulu dan murid -muridku mundur!”
Nyi Endang memenuhi seruan tersebut.Dengan berdiri di satu kaki dan badan masih berputar, selendang di tangan kirinya masih dilecut menimbulkan suara ledakan beruntun ,sedangkan patrem di tangan kanannya perlahan-lahan diselipkan kembali ke gelung rambut kepalanya. Dengan sangat waspada pandangannya mengikuti gerakan mundur murid-murid Pangeran Arya Dila. Sementara itu murid-murid Pangeran tidak kehilangan semangat, melangkah ke belakang secara teratur sebagai layaknya prajurit-prajurit yang mengundurkan diri dari tekanan musuh yang lebih kuat.
Arena menjadi sepi, Nyi Endang menghentikan gerakannya dan berdiri di tengah-tengah 24 sosok tubuh manusia yang telah menjadi mayat berlumuran darah.
Kemudian tanpa menoleh kepada Pangeran Arya Dila, Nyi Endang Darma melompat mundur lalu membalik dan masuk ke dalam wismanya. Segera murid-murid Nyi Endang membentuk barisan penjagaan.
Di lain pihak Pangeran Arya Dila sibuk meredakan kemarahan murid-muridnya yang masih terbakar oleh semangat tempur yang meluap-luap katanya: “Murid-muridku tahan amarahmu, relakan saudara-saudaramu gugur sabilillah.”Setelah menarik napas panjang Pangeran Arya
Dila menoleh kepada jasad murid-muridnya,katanya hambar: “Inna lillahi wainaillahi rojiiun….”
Kemudian suasana menjadi hening. Semua sisa murid Pangeran Arya Dila menunduk mengikuti gurunya membaca do’ a dengan lirih:“Robbanaggfir lanna dzunubanna wa isyraafanaa fieamrinnaa wa tsabit aqdaa mana wanshurnaa alal qaumil kafirin….”
Sore itu juga seluruh jenazah dikuburkan.
Pangeran Guru sangat berduka. Jika saja matahari belum terbenam dia akan menerjang
Nyi Endang Darma. Tetapi peraturan kesatria,hanya boleh bertempur pada saat matahari terbit hingga matahari terbenam. Maka keesokan harinya saat matahari memperlihatkan diri, Pangeran Guru sudah berada di muka wisma Nyi Endang Darma,tekadnya sudah bulat membunuh Nyi Endang Darma.
Kedatangan Pangeran Guru di luar pintu wisma telah diketahui Nyi Endang, maka katanya dari
dalam: “Dengan setulus hati hamba mohon agar Pangeran meninggalkan kami!”
Mendengar nasehat ini, Pangeran Guru menjawab geram: “Semenjak Nabi Adam,manusia mana yang tidak pernah mati, anakku Khusen kemaren mati. Maka bila engkau yang tidak mati, akulah yang akan mati, tetapi untuk keduanya hidup tidaklah mungkin. Endang Darma keluarlah …!”
Bagaikan anak panah lepas dari busumya, Nyi Endang Darma melesat dari dalam wismanya langsung menyerang Pangeran Guru.Pangeran Guru meloncat ke samping ,kemudian terjadilah “perang tanding” yang langsung dahsyat seperti dalam cerita pewayangan.
Pangeran Guru segera menggempur dengan tangan kanan bagaikan kilat dan belum sampai
ke sasarannya tangan kirinya menyusul lebih dahulu menyambar, Nyi Endang cepat menunduk ke samping , tetapi Pangeran Guru tidak memberi kesempatan, kaki kanan dan kirinya menendang bergantian. Sekali lagi Nyi Endang menghindar sambil melompat ke belakang. Bagaikan kalap, Pangeran Guru ,menyerang lebih gesit. Tinjunya menyambar-nyambar seperti tangannya ada empat.Laksana terbang Nyi Endang menghindar dengan mengibaskan wrayangnya, membelah
udara, menyibak embun pagi.Menyadari serangan-serangannya tidak berhasil, Pangeran Guru mencabut pedangnya,tidak diduga pedang merupakan lawan yang cocok untuk wrayang Nyi Endang, yang terbuat dari sutra halus itu seperti berubah menjadi lempeng baja tipis, sehingga ketika beradu dengan pedang Pangeran Guru, suaranya berderit dengan memercikan bunga -bunga api.
Pangeran Guru memperlihatkan permainan pedang yang indah aliran Majapahit yang terkenal “Tiada Kulit Melainkan Isi”. Setiap gerakannya cepat dan mematikan. Tempur pedang Majapahit adalah salah satu bagian ilmu perang untuk membela negara, maka kalau saja bukan Singa-Betina Nyi Endang yang dihadapi ….Kini kedua pendekar ulung beradu senjata.
Daun-daun rontok kena angin kebutan wrayang Nyi Endang dan berkali-kali terdengar letupan berantai akibat bentrokan senjata dan gesekannya.
Udreg pedang – pinendang, sakalih panpunjul,tan wonten asoring yuda. tiang surak kadya rengatin burnt suka aningalana Pertandingan ini memang disaksikan rakyat selama hampir satu bulan. Dari matahari terbit sampai terbenam.
Babad Dermayu melukiskan dalam macapat Pupuh Sinom (satu dari delapan bait):
Kalangkung rameh ing yuda Anggene pajuning
jurit Tandange Nyi Endang Darma Kalayan
pawongan neki Gamanne pan patrem manik
Saking cucuk gelung ipun Kalayan senjata
wrayang Oranana teguh sakti Datan kiat sedaya para Pangeran
 

Mengukur kemampuan sendiri dan lawan, Nyi Endang lebih banyak bertahan. Pangeran Guru
sudah sepuh, sehingga daya tahannya di bawah Nyi Endang. Maka lama waktu yang akan menentukan siapa yang akan keluar jadi pemenang. Perhitungan Nyi Endang benar.
Semakin hari gerakan silat Pangeran Guru semakin menurun, maka pada suatu hari
Pangeran Guru setelah bertempur sepanjang hari, tiba-tiba gerakannya makin gesit tetapi tidak terarah. Kemudian berdiri tegak dan terdiam laksana obor kehabisan minyak ….
Nyi Endang melompat mundur karena Pangeran Guru telah wafat dalam posisi berdiri tegak ….
Sementara Nyi Endang Darma membalik dengan kepala tertunduk dan berjalan menuju wismanya, Ki Tinggil bergegas merangkul sosok Pangeran Guru Arya Dila sambil mengucapkan:
“Innalilahi wa Innailahi rojiun.”
Tanpa bersuara, sisa murid Pangeran Guru,maju ke depan membantu Ki Lurah Tinggil merebahkan jenazah Pangeran Guru,beralaskan jubah Ki Tinggil kemudian ditutup dengan jubah Pangeran Guru sendiri. Tanpa ada yang memerintah semua orang yang hadir duduk, termasuk barisan prajurit Palembang.Kemudian Ki Lurah Tinggil berdiri menghadap pada pengikut Pangeran Guru, katanya:
“Saudara- saudaraku dari Palembang, Pangeran Guru telah wafat, persoalan ini akan kusampaikan kepada penguasa nagari ini,Adipati Aria Wiralodra, yang saat ini sedang berada di Bagelen. Aku sendiri yang akan ke sana.“Bagi saudara-saudara ada dua pilihan.Pertama. Melanjutkan pergi ke Demak dan melapor kepada Gusti Sultan. Tetapi ingat kemungkinan besar saudara-saudara akan digantung, karena hukum Demak, yaitu saudara saudara harus membela Gustimu sampai mati.
“Kedua. Tinggal di sini menjadi penduduk Praja Cimanuk, para prajurit bisa meneruskan menjadi prajurit nagari ini. Lapangan kerja lain terbuka, untuk jadi petani, nelayan, pedagang atau apa saja . Tanah untuk rumah dan pertanian diberikan secara cuma-cuma.
“Nah saudara-saudaraku dari Palembang siapa yang akan melanjutkan perjalanan ke Demak.
harap berdiri!”
Ternyata tidak seorangpun yang berdiri. Maka berkata pula Ki Tinggil:
“Baiklah, mari kita makamkan jenazah Pangeran Guru bersama murid-murid yang telah mendahuluinya (di belakang Masjid Dermayu yang terkenal dengan nama Pemakaman Pangeran Selawe).”Yang paling berduka atas tewasnya Pangeran Guru Arya Dila beserta 24 orang Pangeran muridnya,adalah Ki Lurah Tinggil. Maka keesokan harinya semua bahusuku dipanggil.
Kepada para bahusuku Ki Lurah Tinggil berkata: “Saudara-saudaraku, sesuai ketentuan jumlah penduduk, maka pada hari ini jabatanku demang dan engkau semua: Pulaha,Bayantaka,Jayantaka, Surantaka, Sanasara dan
Puspahita adalah lurah. Angkatlah untuk membantu, bahusuku sesuai dengan jumlah penduduk seperti yang telah diatur.
“Besok aku akan ke Bagelen untuk laporan.Dan Pulaha menjabat Demang sementara aku belum kembali. Jagalah keamanan dan kesejahteraan rakyat!”
Ketika Aria Wiralodra meninggalkan Praja Cimanuk menuju Demak, saat itu menunjukkan akhir 1517 M. Dengan menggunakan kuda pilihan, perjalanan menjadi lebih cepat. Maka sesampainya di Demak, dia langsung menuju Kesultanan. Aria Wiraloda diterima Sultan Raden Fatah dengan gembira.
Aria Wiralodra melaporkan berdirinya Kadipaten Praja Cimanuk, di bawah Galuh Nagari dengan semua peris-tiwanya yang terjadi.
Setelah Sang Sultan memuji keberhasilannya,kemudian memberi petunjuk bagaimana komunikasi harus ditempuh untuk menjaga kerahasian.
Setelah selesai membicarakan “Cimanuk”,Sultan berkata: “Wira! Sekarang di sini sedang terjadi pem-berontakan, tetapi ini bukan tugasmu melainkan tugas ayahmu, kubebaskan engkau untuk menilai.”Setelah selesai jamuan makan yang diselenggarakan oleh Istana, Aria Wiralodr apun mohon diri untuk terus ke Bagelen.
Tiba di Bagelen Aria Wiralodra, disambut oleh keluarga dengan tangis kegembiraan. Tetapi
dia tidak dapat menikmati masa istirahat melepas lelah setelah bekerja keras membangun nagara, karena Bagelen menghadapi “kerusuhan”. Lima Kadipaten berontak melawan Demak yaitu: Banyubiru,Pamigit, Karangjati, Banyuurip dan Karanganyar. Aria Wiralodra akan menghadapinya.
Lontar Babad Darmaayu (abad XV M) menulis sebagai berikut:
Kamatyan Wiralodra
Angunggang Rama buneki
Hing Bagelen kang nagara
Sadaya katur pawarti
Dukuh ing Cimanuk kali
Bu-rama samya ngungwx
Wicaksana Wiralodra
Amangun nagara neki
Saksana kawedar pangadikane rama
Katambetan Wiralodra
Sakawane Putra mami
Saiki pan kaki sira
Mengkuha Bagelen nagri
Ana prang ingjurit
Supaya dadi kaweruh
Banyubiru lawan Demak
Peregreg ing Pamigit
Karangjati Banyuurip lan Karanganyar
 

Aria Wiralodra bersama saudara-saudaranya Raden Wangsanagara, Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa memimpin Lasykar Bagelen bersama-sama Pasukan Demak memadamkan pemberontakan. Peristiwa ini membuat Aria Wiralodra tinggal cukup lama di Bagelen .Pada saat itu (1522 M ) Aria Wiralodra akan kembali ke Praja Cimanuk, tiba -tiba Ki Tinggil datang.
Kedatangan Ki Tinggil di Bagelen,menimbulkan tanda tanya, khususnya Aria Wiralodra yang menduga tentu telah terjadi sesuatu di Praja Cimanuk. Maka setelah melepas lelah. Ki Tinggil duduk dikerumuni keluarga Singalodra.
Duduk menghadap Gusti Sepuh Singalodra, Ki Tinggil bercerita: “Gusti! Sepeninggal Den Wira, rakyat pedukuhan Praja Cimanuk dalam keadaan sejahtera. Rencana pembuatan jalan,gang dan saluran air telah dilaksanakan.
‘Tiba-tiba saja, pada suatu hari datang seorang wanita cantik bernama Nyi Endang Darma
diiringi oleh pa-wongannya suami istri bernama Ki Tana dan Nini Tani,minta izin untuk mukim di Dukuh Cimanuk.
Sudah tentu hamba beri izin, sesuai pesan Den Wira.
“Kemudian ternyata Nyai Endang bukan saja cantik dalam rupa tetapi juga dalam perbuatan. Suka membantu atau menolong orang yang dalam kesulitan; memberi petunjuk cara bercocok tanam yang lebih baik,cara berdagang yang menarik minat pembeli ,cara para gadis atau ibu-ibu berbusana sederhana tetapi menarik dan lain-lain.
“Akhirnya yang mengejutkan hamba, Nyi Endang Darma seorang sakti. Pandai menggunakan berbagai senjata sebagai seorang prajurit dan bersilat tangan kosong sebagai pendekar, Nyi Endang membuka perguruan silat tanpa imbalan.
“Hamba biarkan penduduk berguru silat karena akan berguna kelak dalam wajib bela negara. Hamba berfikir alangkah pantasnya menjadi garwa Den Wira ….
“Demikianlah dan hari ke hari murid -murid Nyi Endang Darma bertambah, bersama bertambahnya kemakmuran penduduk Cimanuk.”
Kemudian diuraikanlah kedatangan Pangeran Gum Aria Dila beserta murid-murid dan prajurit Palembang secara terperinci sampai timbulnya huru-hara yang menyedihkan.
Karena pandainya Ki Tinggil mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi maka suasana
menjadi sangat sunyi mencekam. Semua terdiam, sampai Adipati Singalodra berkata:
“Wira, Pangeran Guru Aiya Dila adalah masih
kakekmu dari Majapahit. Selain dari pada itu,kalau kita melindungi Nyi Endang Darma, kita
akan berhadapan dengan Gusti Sultan Demak.Maka tangkaplah dia! Bawalah kedua adikmu
Tanujaya dan Tanujiwa untuk membawa Nyi Endang Darma ke Demak!”
Dengan menggunakan kuda-kuda terbaik Aria Wiralodra, Raden Tanujaya, Raden Tanujiwa
dan Ki Tinggil berangkat dari Bagelen menuju Dukuh Cimanuk.
Tiba di Dukuh Cimanuk disambut oleh para lurah, bahusuku dan rakyat, yang banyak di antara mereka belum mengenal Gustinya.
Hanya Nyi Endang yang tidak hadir, hatinya risau, tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
Maka jalan satu-satunya dia tetap tinggal di wismanya.
Pada keesokan harinya Aria Wiralodra mengutus Ki Tinggil dan Ki Pulaha memanggil
Nyi Endang. Nyi Endang sangat gelisah kedatangan mereka hatinya gugup: “Paman,silahkan masuk dan duduklah!”
Beberapa saat lamanya dia tidak dapat membuka mulut, tapi kemudian katanya lagi:”
Paman, Endang Darma merasa bersalah,sampai Paman pergi ke Bagelen karena perbuatanku. Kini, kiranya Paman telah kembali, khabar apa yang Paman bawa?”
“Nyai,” sahut Ki Tinggil, “benar, Paman telah kembali dari Bagelen beserta Gusti Wiralodra
bahkan dua saudaranya ikut serta. Paman kemari janganlah membuat Nyai terkejut.Tidak lain Nyai diminta datang sekarang menemuinya!”
“Paman!” sahut Nyai Endang Darma, “kalau begitu perkenankanlah Endang Darma berpakaian dahulu.”
Beberapa saat kemudian Nyi Endang keluar dari kamamya, mengenakan pakaian miliknya
yang terbaik dan menggunakan minyak wangi yang harurn lembut. Bagaikan bidadari yang
keluar dari pintu Dalem Pawidadaren, Endang Darma yang cantik menjadi lebih cantik lagi
dimata para penjemputnya.
Serat Babad Dermayu, melukiskannya dalam pupuh Kinanti seperti berikut:
Nyi Endang ngandika arum Mangga bade
dangdos krihin Nyi Endang ngrasuk busana
Pinaes lenga asuri
Rema cemang andan andan Kulit kuning nemu
giring Dedeg sedeng langkung ayu Datan ana
sakeng estri Kadi rupi Endang Darma
Sakancane kaki Tinggil Nderek Endang Darma
Kadi putri Widadari


Ki Tinggil dan Ki Pulaha bam tersadar, setelah tertegun cukup lama. Bagaikan mimpi, mereka
melihat Nyi Endang Darma yang cantiknya makin bertambah dengan busana yang serasi.
Berkata Nyi Endang: “Mari Paman Tinggil, mari Paman Pulaha!”
Dengan gugup Ki Tinggil mempersilahkan Nyi Endang berjalan di muka. Setibanya di Wisma
Agung, Nyi Endang Darma disambut Aria Wiralodra.
Nyi Endang memberi hormat dengan membungkuk dan duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, tidak berani memandang wajah Aria Wiralodra. Hatinya msuh melihat seorang satria yang sangat menarik, tegap dan tampan.
Tidak berbeda dengan Nyi Endang, Aria Wiralodra hatinya tergetar melihat wanita yang sangat cantik ini.
Aria Wiralodra membuka kata: “Bagea Nyai! Aku tamu yang bam datang ingin sekali berjumpa dengan Nyai, karena itu aku suruh Paman Tinggil menjemput.”
“Gusti! Yang menjadi tamu menumpang hidup adalah hamba. Hamba telah mohon kepada Paman Tinggil ikut menetap di sini,” kata Nyi Endang.
“Nyai,” sahut Aria Wiralodra, “engkau punya hak untuk tinggal dan membangun penghidupan di sini.” Setelah hening sejenak,lanjutnya: “Nyai, ada sesuatu yang aku ingin mendengar langsung dari Nyai mengenai peristiwa tewasnya Pangeran Guru dan 24 orang muridnya.
Ceritakanlah yang sebenarnya terjadi!”Dengan paras muka yang sayu, Nyi Endang Darma berkata: “Gusti, hamba bersumpah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Mengetahui, hamba akan bicara yang sebenarnya, tidak berani menambah atau mengurangi.”
Maka diceritakanlah oleh Nyi Endang apa yang telah terjadi dan dibenarkan oleh Ki Tinggil
dan Ki Pulaha. Lama Aria Wiralodra termenung, kemudian katanya: “Eyang Guru yang salah, aku tidak memihaknya. Tetapi Nyai diminta kesediaannya bertanding dengan saudara-saudaraku. Aku ingin melihat cara bagaimana engkau dapat menjatuhkan Eyang Guru.”
Nyai Endang menjawab lirih: “Gusti, hamba tidak berani, ampunilah hamba!”
Aria Wiralodra, seorang satria Pinandita,nuraninya dapat membaca pikiran Nyi Endang Darma, yang diucapkan tidak seperti yang dipikirkannya, maka katanya sambil tersenyum:
“Nyai! Ini perintahku, dan termasuk sayembara, tetapi tidak boleh saling melukai.”
Kata-kata ini mengandung arti agar Nyi Endang Darma tidak menurunkan pukulan telak. Tetapi
di luar dugaan, Raden Tanujaya telah berdiri.Katanya nyaring: “Nyai! Cah ayu marilah!”
Maka sambung Aria Wiralodra: “Nyai,dengarlahjagoku telah berkokok marilah kita semua ke ‘arena latihan prajurit’.”Di tempat duduk, Aria Wiralodra menempati kursi deretan komandan pelatih, di samping kanan Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani. Sedangkan di sebelah kiri Ki Tinggil bersama Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa.
Sementara penonton terbatas hanya dari Dalem Agung .
Kemudian Aria Wiralodra berseru: “Sayembara bisa segera dimulai!”
Dengan gembira Raden Tanujaya turun ke gelanggang diikuti Nyi Endang Darma. Maka setelah
berhadapan dengan jarak tiga depa, Raden Tanujaya sekali lagi berseru: “Nyai! Cah ayu!
Bila engkau kalah, jadilah istriku, akan kubawa ke Bagelen!”
Nyi Endang Darma tidak senang mendengar Raden Tanujaya berteriak di tengah gelanggang
seperti itu, maka dari jauh selendangnya dikebut yang menimbulkan arus angin deras menerpa muka Raden Tanujaya. Betapapun cepat Raden Tanujaya mengelak, tidak urung kuping kirinya tersambar yang langsung berubah warna, menjadi merah-biru.
Kini Raden Tanujaya tidak main-main , dia cepat pasang kuda -kuda dan sambil membentak keras meloncat, langsung menjambret pundak Nyi Endang Darma. Tetapi sebelum tangannya sampai ke pundak, dia merasa ada angin berkesiur dari kiri dan kanan. Maka dengan cepat tangan kiri dan
kanannya menangkis. Inilah kesalahannya.
Nyi Endang Darma sengaja dengan gerakan selendangnya membuat reaksi lawan agar pertahanan dada menjadi terbuka. Maka ketika kesempatan ini terjadi, kaki kiri Nyi Endang menerjangnya. Tidak pelak lagi, Raden Tanujaya terpental lima depa ke belakang….
Orang yang paling khawatir atas keselamatan Putra Adipati Bagelen Singalodra adalah Ki Tinggil. Semua orang tahu Ki Tinggil adalah seorang Panakawan, tetapi banyak yang tidak tahu bahwa dia adalah pengasuh dan guru sekaligus.
Maka bagaikan burung elang, Ki Tinggil menyambar Raden Tanujaya yang hampir terbanting ke tanah. Tidak urung Raden Tanujaya pingsan. Napasnya menyesak, tanpa diketahui orang banyak, Ki Tinggil telah mengurut dan menyadarkannya.
Melihat saudara kembarnya celaka, Raden Tanujiwa meloncat langsung ke arena.
Tindakannya ringan, maka orang menduga akan terjadi pertarungan yang seru.
Seperti saudaranya, ternyata kata-kata Raden Tanujiwa lebih usil, setelah memuji kecantikannya kemudian katanya: “Aja inda duh wong ayu, pengen ngemek bae Nyai!”
Sementara bicara Raden Tanujiwa melesat dan berhenti di belakang Nyi Endang , tangan kanannya langsung menyambar tengkuk Nyi Endang. Tanpa memutar tubuhnya, Nyi Endang
menangkis. Gagal dengan pukulannya,Tanuwjiwa melanjutkan dengan tendangan lurus ke depan. Nyi Endang menghindar,sambil berbalik balas menendang. Raden Tanujiwa lompat mundur.
Nyi Endang melecut selendangnya ke kanan dan ke kiri tubuh Raden Tanujiwa secara bergelombang, maka tidak ada jalan lain kecuali mundur. Ketika mundur ke “arah”
tempat duduk Aria Wiralodra untuk melompat mundur, Nyi Endang dengan cepat menggeser
ke samping lalu melontar selendangnya melingkar tubuh Raden Tanujiwa dan bersamaan dengan lompatan mundur Raden Tanujiwa, selendang Nyi Endang yang telah melilit tubuhnya dan langsung disentakkan mengikuti arah lompatan . Tak ayal lagi Raden Tanujiwa melayang ke arah Aria Wiralodra.
Ki Tinggil, Sejak awal sudah melihat gelagat ini tetapi ukuran jaraknya yang tidak tepat, maka
tubuh Raden Tanujiwa melayang di atas kepalanya.
Beruntung, Raden Tanujiwa memiliki ilmu ringan tubuh yang cukup baik, sehingga tidak jatuh terbanting. Tetapi tidak urung dia terjerembab dan terhenti dalam posisi sujud kepada …. Aria Wiralodra.Berlawanan dengan gusar, Aria Wiralodra tertawa nyaring, katanya: “Aku membawa jago terbaik dari Bagelen, berkokok sepanjang jalan tetapi baru diadu dengan babon sudah jatuh
bergulingan!”
Mendengar ejekan tersebut, Raden Tanujiwa berteriak: “Cobalah Kanda tangkap dia! Aku heran, Nyi Endang punya ilmu apa? Pendekar-pendekar para pemberontak di Demak,aku jatuhkan tidak sampai 10 jurus!”
Tanpa menghiraukan ocehan adiknya, Aria Wiralodra menghampiri Nyi Endang Darma dan katanya lembut: “Nyai, kulihat barusan suatu pertunjukan yang menyenangkan hati, rasanya
aku ingin mencoba macam apa pedasnya tamparan Nyai. Karena itu mau tidak mau besok pagi kuminta Nyai melawanku, tidak di tempat ini yang sempit, melainkan di Alun-alun!”
Nyi Endang Darma tertegun, walaupun Aria Wiralodra sudah menduganya. Tetapi ketika mendengar permintaan ini mulutnya rasanya terkunci. Sebagai seorang pendekar, dia tidak
takut, tetapi hatinya terkait sejak saat pandangan pertama, laksana besi purasani bertemu dengan besi baja.
Setelah lama terdiam dia sadar dan merasa jengah sendiri, mukanya … bersemu dadu disembunyikan dengan menunduk. Yang tidak dapat bersembunyi adalah Aria Wiralodra,
dengan tidak berkedip memandang keelokan Nyi Endang Darma.Ki Tinggil cepat bertindak, dihampirinya Nyi Endang Darma, maka seperti mendapat jalan,berkata Nyi Endang Darma: “Aduhai Paman,apa yang harus kuperbuat. Endang Darma hanya memohon hidup di sini. Mengapa harus melawan Gusti Wiralodra?”
Dengan penuh kasih tapi bersuara nyaring Ki Tinggil berkata: “Nyai, Den Wira tidak akan
melukaimu, kalau sampai Nyai terluka, Paman akan minggat. Tetapi juga kalau Den Wira yang
terluka, Paman tidak mau lagi bicara sama Nyai.”

 Sumber: http://kisahdanbabad.blogspot.co.id/2012/08/babad-kali-cimanuk-part-1.html
http://kisahdanbabad.blogspot.co.id/2012/08/kerajaan-siluman-pulo-mas-di-tanah_4.html

0 komentar:

Posting Komentar