Makalah
Konfushianisme
Diajukan
untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia dosen
pengampu Dr. H. Endis Firdaus, M.Ag.
Disusun
Oleh:
Nama
: Reza Ikhwatul Ramadhan NIM : 1400395
Nama
: Sukarno NIM : 1405012
Kelas
: IPAI A 2014
ILMU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
2015
Agama Kong Hu Chu
A.
Pengertian
Kong
Hu Chu adalah agama penduduk Cina yang mengajak umatnya untuk menghidupkan
kembali upacara-upacara keagamaan, adat istiadat, dan tradisi keagamaan para
leluhur mereka. Bersamaan dengan itu disertai beberapa pandangan hakim
Konfusius tentang hal tersebut, seperti menyembah pada satu Tuhan Agung,
arwah-arwah leluhur, dan penyucian para malaikat. (Al-Maghlouth,
2010, p. 523)
B.
Konfusius
Konfusius
lahir pada tahun 551 SM di kota Tsou, salah satu distrik Lu. Kong merupakan
nama marga atau keluarganya. Sementara Futze adalah pemimpin atau filsuf.
Dengan begitu, dia adalah pemimpin Kong atau filsuf Kong. Konfusius berasal
dari etnis mulia. Kakeknya adalah seorang pemimpin wilayah, sedang ayahnya
seorang perwira militer yang sangat baik. dia merupakan buah perwakinan
illegal. Pada usia 3 tahun sang ayah telah meninggalkannya. Dia hidup sebagai
anak yatim. Sejak kecil, dia sudah menjadi seorang penggembala. Dia menikah
pada usia muda, yakni sebelum umur 20 tahun lalu dikaruniai satu putra dan satu
putri. Dua tahun kemudian, dia menceraikan sang istri dengan alasan tidak mampu
menafkahi. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)
Dia
pernah menimba ilmu filsafat dari Laotse, seorang ahli filsafat. Dia adalah
pemeluk aliran Tao, mengajarkan pada hidup rela dan toleransi total. Namun
setelah itu, Konfusius menyeleweng dan mengajarkan teori keadilan; membalas
kejelekan dengan yang sepadan. Pada usia 22 tahun, Konfusius mendirikan sebuah
sekolah filsafat hingga siswanya mencapai 3.000 murid. Dia dipercaya untuk
menempati beberapa posisi, yaitu konsultan bagi para pemimpin dan pemerintah,
penentu seorang hakim, menteri pekerjaan, menteri keadilan, dan pemimpin para
menteri pada tahun 496 SM. Saat itu, Konfusius sempat melepastugaskan beberapa
menteri dan politikus masa sebelumnya, serta memberantas para perompak. Selepas
itu, dia mengembara ke beberapa negeri menjadi konsultan hakim, bersosialisasi
dengan kalangan umum, dan memberikan doktrin-doktrin ajaran tentang nilai
moralitas. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)
Akhirnya,
dia kembali ke distrik Lu, mengajarkan beberapa ajaran dan pemikiran para
leluhur. Konfusius dianggap sebagai pendiri keyakinan masyarakat Cina ini. Juga
pemikirannya yang telah diresensi dalam kitab-kitab kecil kepada para
sejawatnya. Kemudian, Konfusius meninggal pada umur 50 tahun hingga sang murid
tercinta, Huwai menangis tersedu. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)
Meninggal
pada tahun 479 SM, selepas meninggalkan doktrin resmi yang terus eksis hingga
pertengahan abad ke-20 M. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)
C.
Filsafat
Konfusianisme
Konfusianisme
merupakan sekumpulan keyakinan dan prinsip-prinsip dalam filsafat Cina yang
berkembang melalui pengajaran Konfusius dan pengikut-pengikutnya. Secara
global, ia berbicara seputar moralitas, kesusatraan, metodologi hukum, dan
hubungan sosial. Ajaran konfusianisme berdampak hingga jalan hidup masyarakat
Cina, seperti mengaturr tipe kehidupan dan menata tangga nilai sosial. Hal
tersebut layaknya prinsip-prinsip politik yang terbangun berdasarkan teori dan
berbagai lembaga politik di Cina. Bermula dari Cina, sekolah ini menyebar
hingga ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Dalam prosesnya, sekolah ini menjadi
pusat kebudayaan bangsa Asia Timur. Selepas konfusianisme memasuki masyarakat
Barat, ia mulai waspada terhadap segala macam filsafatnya. (Al-Maghlouth, 2010, p. 525)
Meskipun
konfusianisme telah menjadi aliran resmi di Cina, ia tak lantas meningkat
menjadi sebuah agama dalam arti terminologi. Mereka membutuhkan keberadaan kuil
dan tingkatan pemuka agama. Kemudian, Konfusius mendapatkan posisi tinggi di
antara cendekiawan Cina. Para cendekiawan tersebut memberinya julukan “guru”
atau “orang yang bijaksana”. Namun, penghormatan yang diberikan kepadanya tidak
sampai pada tahap penghormatan terhadap Tuhan. Akan tetapi, sebagian sejarawan
Barat mulai salah memahami hal ini sehubungan dengan pemahaman yang melekat
tentang ibadah orang-orang terdahulu terhadap agama Cina. Konfusius tidaklah
menyatakan bahwa dirinya Tuhan. Kontras dengan agama-agama lain, tempat-tempat
ibadah Konfusius tidaklah dibangun spesifik hanya untuk golongan atau
pengikutnya yang terorganisir, tetapi bangunan umum yang dikhususkan untuk
ritual tahunan seperti peringatan hari lahir Konfusius. Melihat dari watak
dasar yang serba duniawi-bukan religius-dari filsafat ini, maka segala usaha
untuk menjadikannya sebagai keyakinan agama pun tidaklah berhasil. (Al-Maghlouth,
2010, p. 525)
D.
Kitab
dan Kodifikasi Pengajaran
Prinsip-prinsip
dasar sekolah konfusianisme ditulis dalam Sembilan kitab Cina Kuno yang
diwariskan secara turun menurun kepada seluruh pengikutnya. Penulisan
prinsip-prinsip tersebut selesai pada masa Dinasti Zhou-masa yang dikenal
dengan berjamurnya sekolah filsafat. Kitab tersebut terbagi menjadi dua:
1) Kitab
suci yang lima (Wu Jing)
2) Kitab
suci yang empat (Shi Shu)
Ajaran0ajaran
Konfusius ditransfer secara berangsur dengan metode lisan yang selanjutnya
ditulis Lun Yu. Ajaran Konfusius, secara spesifik, melakukan penekanan pada
realita moral (terdapat dalam tulisan moralitas) saat Cina dilanda kerusakan
moral sebagai dampak labilnya politik dan guncangan sosial karena perilaku
imperialis beberapa kerjaan-kerajaan kecil terhadap Dinasti Zhou. Gejolak ini
memanggil para Konfusius untuk merenungkan metode ideal guna mengembalikan
kesatuan kerajaan-kerajaan. Akhirnya, mereka dan beberapa filsuf melakukan
reformasi serta menciptakan pemikiran baru pada satu waktu. (Al-Maghlouth, 2010, pp. 525-526)
E.
Konsep
Li
Konfusius
memandang bahwa undang-undang politik dan sosial merupakan satu kesatuan yang
saling melengkapi. Keunggulan-keunggulan dan etika individu para hakim serta
aristocrat telah cukup sebagai kekuatan sebuah pemerintahan. Stabilisasi hukum
perundangan mungkin terwujud sempurna dengan jalan pemerataan ritual Li dan
music Cina. Karenanya, music Cina modern pada satu masa sempat menjadi unsur
utama dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan. (Al-Maghlouth, 2010, p. 526)
Konfusius
bahkan mengakui keunggulan music Cina karena dapat bermanfaat bagi rohani dan
jiwa manusia. Dia merupakan sosol pecinta syair Cina kuno. Syair tersebut
kadang disusun dalam bentuk lagu dan mengandung nilai-nilai peradaban. Dia
memandang bahwa pemerintahan yang memilii music dan ritual-ritual yang
berhubungan dengan pemerintah-dipilih berdasar adat dan tradis-tradisi yang ada
akan menciptakan warga Negara yang bahagia dan mampu menikmati segala kelebihan
dengan penuh kepuasan. Dengan hal tersebut, Negara tak lagi memerlukan
peraturan untuk mendisiplinkan mereka. Negara akan aman sehingga aturan tidak
lagi beguna. Konfusius terobsesi untuk mencari seorang pemimpin yang mampu merealisasikan
ajaran-ajaran ini, tetapi gagal. (Al-Maghlouth, 2010, p. 526)
F.
Konsep
Ren
Pandangan
umum tentang dasar moralitas konfusianisme terangkum dalam konsep Ren. Jika
dialihbahasakan, Ren berarti ‘humanisme atau ‘kebaikan hati’. Ren merupakan
keluhuran jiwa yang menggambarkan sifat paling mulia dalam diri manusia. Pada
masa Konfusius, konsep Ren bertemu dengan para filsuf. Seiring waktu, konsep
ini berubah arah menjadi tingkat “kaum cerdik”, atas dasar bahwa pemahaman ini
lebih mencakup pada relasi kemanusiaan yang tidak tertuju pada dua orang saja.
Berikut beberapa konsep Ren:
1) Tsung:
ikhlas terhadap diri sendiri dan orang lain
2) Xiao:
altruism (mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri)yang terejawantah
dalam konsep jiwa Konfusius dengan ungkapan “Jangan melakukan sesuatu yang kamu
tidak suka jika orang lain melakukan hal itu kepadamu”.
3) Juntsih
: diterjemahkan menjadi pemuda yang mulia karena keagungan yang dia miliki,
bukan semata karena factor nasab. Sebutan ini ditunjukan bagi seseorang yang
memiliki beberapa kelebihan, seperti konsisten, kebijaksanaan, pekerti yang
luhur, ketulusan, juga ketakwaan.
Pada aspek politik,
Konfusius mengajarkan kekuasaan dominan oleh seorang hakim yang dihormati dan
ditaati rakyat. Seorang hakim hendaknya memperbaiki akhlak hingga menggapai
kesempurnaan dan mampu menjadi teladan untuk rakyat. Dalam bidang pendidikan,
Konfusius memiliki pandangan progresif. Dia menganjurkan pemerataan pendidikan
dalam seluruh elemen masyarakat tanpa memandang strata sosialnya. (Al-Maghlouth,
2010, pp. 526-527)
G.
Akar
Pemikiran dan Keyakinan Konfusianisme
Konfusianisme
merupakan kepercayaan-kepercayaan masyarakat Cina Kuno pada tahun 2600 SM.
Konfusius sebagai penerima pertama, lalu diberikan kepada para pengikutnya
tanpa ada perdebatan, perseteruan, atau klarifikasi. Pada abad ke-4 M muncul
kepercayaan (sandaran) baru yaitu pemujaan Bintang Kutub. Para penganutnya
berkeyakinan bahwa ia adalah poros langit. Para peneliti meyakini dari agama
sebagian penduduk pesisir Laut Tengah. (Al-Maghlouth, 2010, p. 527)
Konfusianisme
berhasil mengalahkan dorongan komunisme dan sosialisme yang muncul sejak 2 abad
SM, layaknya kesuksesan meleburkan buddhisme dengan acuan konfusianisme Cina.
Jadi, buddhisme dengan acuan konfusianisme Cina. Jadi, buddhisme Cina memiliki
karakteristik sendiri yang sama sekali berbeda dengan buddhisme Hindia yang
asli. Keyakinan konfusianisme masih tetap eksis dalam keyakinan mayoritas
masyarakat Cina modern meski adanya kuasa politik komunis. (Al-Maghlouth, 2010, pp. 527-528)
H.
Penyebaran
dan Wilayah Kekuasaan
Konfusianisme
telah tersebar di Cina. Sejak tahun 1949 M, konfusianisme mulai memisahkan diri
dari arena politik dan agama. Namun, ia tetap terpendam dalam jiwa rakyat Cina
dan menjadi unsur yang mendorong perubahan terhadap system komunisme-marxisme
di Cina. Konfusianisme pun tetap cenderung pada sistem perundangan sosialis di
Formoza atau (nasionalisme Cina). Konfusianisme tersebar di Korea dan Jepang.
Ia menjadi salah satu materi di Universitas Jepang. Ia merupakan prinsip dasar
yang membentuk moralitas di sebagian besar Negara Asia Timur dan bagian timur
Asia Selatan hingga abad pertengahan dan modern. Konfusianisme mendapatkan
kebijaksanaan sebagian filsuf Barat, seperti Libintiz (1646-1716 M) dan Peter
Nail yang telah menyebarkan kitab-kitab klasik Konfusius tahun 1711 M dan
mayoritas diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. (Al-Maghlouth, 2010, p. 528)
Konfusianisme
terbagi menjadi dua golongan:
1) Aliran
radikal.
Aliran ini tergambar
pada diri Mansius. Dia menghafalkan secara literalis seluruh
pemikiran-pemikiran Konfusius serta menerapkannya secara utuh. Mansius
merupakan salah satu muris spiritual Konfusius, tetapi dia tidak mendapatkan
ajaran secara langsung dari Konfusius, melainkan dari sang paman, Tsesze yang
telah mengarang kitab Central Harmony.
2) Aliran
analitis.
Aliran ini
terproyeksikan pada sosok Huntse dan Yagtse. Aliran ini berdiri atas dasar
analisa dan interpretasi berbagai pendapat para guru. Selain itu, berpedoman
pada beberapa pemikiran yang terilhami dari teks Konfusius. (Al-Maghlouth, 2010, p. 528)
I.
Teologi
Agama Konghucu
1. Haksu
Tjhie Tjay Ing
Hanya
kebijakan berkenan kepada THIAN, Tuhan yang Maha Esa, tiada jarak jauh tidak
terjangkau, kesombongan mengundang bencana, kerendahan hati menerima berkat,
demikianlah Jalan Suci Tuhan Yang Maha Esa sepanjang masa. Jalan suci itu satu
tetapi menjalin, menembusi semuanya. Jalan suci itu ialah Satya dan Tepasarira, satya kepada Firman Tuhan dan tepasarira,
tenggang rasa, mencintai sesame dan lingkungan hidupnya. (Wisnuhardana,
2003, p. 179)
Jalan
suci yang dibawa oleh ajaran agama itu ialah kebajikan gemilang, karunia THIAN
yang memancarkan cahaya didalam diri manusia. Mengasihi sesame makhluk/rakyat
Tuhan Yang Maha Esa dengan sekuat tenaga dan upaya melaksanakan itu sehingga
mencapai dan berhenti di puncak baik, yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. (Wisnuhardana,
2003, pp. 179-180)
Dalam
UU No. 5 tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai bagian dari agama mainsteam yang diakui Negara. Baru
kemudian sejak Pemerintah Abdurahman Wahid, Konghucu kembali menjadi agama yang
diakui Negara. Sedangkan kemungkinan bagi jaminan terhadap agama-agama baru
tampaknya belum bisa dibayangkan dan dipikirkan. (Jamil, 2008, pp. 185-186)
Dengan
melaksanakan Jalan Suci Manusia yang dibimbing Agama, dengan ridho Tuhan Yang
Maha Esa akan diperoleh hidup damai dan sentosa dalam hidup pribadi, keluarga,
masyarakat, Negara, dunia maupun akhirat. Bingcu bersabda, “Seorang kuncu
mempunyai tiga kesukaan”:
a. Kesukaan
pertama, Ayah bunda dalam keadaan sehat, kakak adik tiada perselisihan.
b. Kesukaan
kedua, perbuatannya menengadah tanpa malu kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunduk
tanpa merah muka kepada manusia.
c. Kesukaan
ketiga, mendapatkan orang yang rajin dan pandai untuk dididik. (Bingcu VIIA:20)
dalam (Wisnuhardana, 2003, p. 183)
2.
Keimanan
dalam Konghucu
Dalam
Ekaprasetia Pancakarsa, bahwa ‘agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa
yang dipercayai dan diyakininya. Kebebasan beragama langsung bersumber kepada
martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan
pemberian Negara atau bukan pemberian golongan’. (Wisnuhardana, 2003, p. 183)
Keimanan
berasal dari kata ‘iman’ yang artinya kepercayaan atau keyakinan yang berhubungan
dengan nilai-nilai keagamaan yang dipeluknya. Iman berarti ketulusan keyakinan,
pengakuan akan kebenaran, dan kesungguhan dalam mengamalkannya. Jadi ‘keimanan’
berarti hal-hal yang bersangkutan dengan ‘iman’. (Wisnuhardana, 2003, p. 184)
3.
Pengakuan
Iman yang Pokok
Tiap Umat Konghucu waib
memahami, menghayati dan mengimani dasar keimanannya yang pokok, yang tersurat
di dalam bab utama kitab tengah sempurna, bab utama ajaran besar, dan salam
Iman yang tersurat di dalam Kitab Su King:
“Firman THIAN, Tuhan
Yang Maha Esa, dinamakan Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak Sejati dinamakan
menempuh jalan suci. Bimbingan menempuh jalan suci, dinamakan agama (Kau).
Dipermuliakanlah. Adapun jalan suci yang dibawakan ajaran besar (Thai Hak),
ialah Mewujudkan kebajikan yang bercahaya (Bing Tik), mengasihi rakyat dan
berhenti pada puncak kebaikan. Dipermuliakanlah. Hanya kebajikan berkenan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sungguh memiliki kebajikan yang esa/murni.
Siancai.”
Dari pengakuan Iman
yang pokok ini dapat kita petik beberapa kesimpulan:
a. Seorang
umat Konfusian wajib beriman, percaya, satya, bertaqwa dan hormat/sujud
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. THIAN,
Tuhan Yang Maha Esa adalah khalik semesta alam dengan segala benda dan makhluknya;
c. Hidup
manusia dalah oleh Firman THIAN, maka manusia mengemban tugas suci sebagai
manusia dan wajib mempertanggungjawabkan hidupnya kepada THIAN;
d. Firman
THIAN itu sekaligus menjadi watak sejati, hakekat kemanusiaan, yang menjadikan
manusia memiliki kemampuan melaksanakan tugas sucinya sebagai manusia;
e. Mewujudkan
kebajikan, yang di dalamnya mengandung benih-benih cinta kasih, kesadaran
menjunjung kebenaran/keadilan/kewajiban, kesusilaan dan kebijaksanaan yang
hidup, tumbuh, berkembang dalam rohani manusia, itulah tugas sekaligus tujuan
suci hidup anusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan;
f. Terwuudnya
kebajikan dalam diri manusia adalah untuk diamalkan dalam penghidupan,
mengasihi, tenggang rasa, tepasarira kepada rakyat, kepada sesama manusia dan
menyayangi (memiliki) rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidupnya.
g. Mewujudkan
kebajikan, mengasihi sesama, menyayangi lingkungan, sehingga mencapai puncak
baik, itulah jalan suci yang wajib ditempuh manusia. Itulah jalan suci yang
selaras dengan watak sejati manusia.
h. Bimbingan
yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa lewat para Bok Tok, Sing Jien atau
nabi-nabinya sehingga manusia dapat membina diri menempuh jalan suci, itulah
agama, yang merupakan ajaran besar bagi kehidupan ini.
i.
Hanya kebajikan
berkenaan Tuhan, ini mengandung imbauan dan pengakuan iman bahwa hormat akan
Tuhan ialah melaksanakan firmanNya, percaya terhadap Tuhan tidak dapat
dilepaskan dari hidup mewujudkan kebajikan dan mengamalkannya; di dalamnya
terkandung Pengertian paripurnanya ibadah dan disitukah makna 9nilai) manusia
di hadapan Tuhan Khaliknya maupun di hadapan sesama makhluk dan lingkungannya.
Menjadi insan yang dapat dipercaya terhadap Tuhan Khaliknya maupun terhadap
sesamanya. (Wisnuhardana, 2003, pp. 185-187)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maghlouth, S. b. (2010). Athlas Al-Adyan.
Jakarta Timur: Almahira.
Jamil, M. M. (2008). Agama-Agama Baru Di
Indonesia. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Wisnuhardana, dkk. A. (2003). Sejarah, Teologi
dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: DIAN/INTERFIDEI.
0 komentar:
Posting Komentar