Rabu, 18 November 2015

Makalah Konfushianisme



Makalah
Konfushianisme
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia dosen pengampu Dr. H. Endis Firdaus, M.Ag.















Disusun Oleh:
Nama : Reza Ikhwatul Ramadhan NIM : 1400395
Nama : Sukarno NIM : 1405012
Kelas : IPAI A 2014

ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
Agama Kong Hu Chu
A.    Pengertian
Kong Hu Chu adalah agama penduduk Cina yang mengajak umatnya untuk menghidupkan kembali upacara-upacara keagamaan, adat istiadat, dan tradisi keagamaan para leluhur mereka. Bersamaan dengan itu disertai beberapa pandangan hakim Konfusius tentang hal tersebut, seperti menyembah pada satu Tuhan Agung, arwah-arwah leluhur, dan penyucian para malaikat. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)

B.     Konfusius
Konfusius lahir pada tahun 551 SM di kota Tsou, salah satu distrik Lu. Kong merupakan nama marga atau keluarganya. Sementara Futze adalah pemimpin atau filsuf. Dengan begitu, dia adalah pemimpin Kong atau filsuf Kong. Konfusius berasal dari etnis mulia. Kakeknya adalah seorang pemimpin wilayah, sedang ayahnya seorang perwira militer yang sangat baik. dia merupakan buah perwakinan illegal. Pada usia 3 tahun sang ayah telah meninggalkannya. Dia hidup sebagai anak yatim. Sejak kecil, dia sudah menjadi seorang penggembala. Dia menikah pada usia muda, yakni sebelum umur 20 tahun lalu dikaruniai satu putra dan satu putri. Dua tahun kemudian, dia menceraikan sang istri dengan alasan tidak mampu menafkahi. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)

Dia pernah menimba ilmu filsafat dari Laotse, seorang ahli filsafat. Dia adalah pemeluk aliran Tao, mengajarkan pada hidup rela dan toleransi total. Namun setelah itu, Konfusius menyeleweng dan mengajarkan teori keadilan; membalas kejelekan dengan yang sepadan. Pada usia 22 tahun, Konfusius mendirikan sebuah sekolah filsafat hingga siswanya mencapai 3.000 murid. Dia dipercaya untuk menempati beberapa posisi, yaitu konsultan bagi para pemimpin dan pemerintah, penentu seorang hakim, menteri pekerjaan, menteri keadilan, dan pemimpin para menteri pada tahun 496 SM. Saat itu, Konfusius sempat melepastugaskan beberapa menteri dan politikus masa sebelumnya, serta memberantas para perompak. Selepas itu, dia mengembara ke beberapa negeri menjadi konsultan hakim, bersosialisasi dengan kalangan umum, dan memberikan doktrin-doktrin ajaran tentang nilai moralitas. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)

Akhirnya, dia kembali ke distrik Lu, mengajarkan beberapa ajaran dan pemikiran para leluhur. Konfusius dianggap sebagai pendiri keyakinan masyarakat Cina ini. Juga pemikirannya yang telah diresensi dalam kitab-kitab kecil kepada para sejawatnya. Kemudian, Konfusius meninggal pada umur 50 tahun hingga sang murid tercinta, Huwai menangis tersedu. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)

Meninggal pada tahun 479 SM, selepas meninggalkan doktrin resmi yang terus eksis hingga pertengahan abad ke-20 M. (Al-Maghlouth, 2010, p. 523)

C.    Filsafat Konfusianisme
Konfusianisme merupakan sekumpulan keyakinan dan prinsip-prinsip dalam filsafat Cina yang berkembang melalui pengajaran Konfusius dan pengikut-pengikutnya. Secara global, ia berbicara seputar moralitas, kesusatraan, metodologi hukum, dan hubungan sosial. Ajaran konfusianisme berdampak hingga jalan hidup masyarakat Cina, seperti mengaturr tipe kehidupan dan menata tangga nilai sosial. Hal tersebut layaknya prinsip-prinsip politik yang terbangun berdasarkan teori dan berbagai lembaga politik di Cina. Bermula dari Cina, sekolah ini menyebar hingga ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Dalam prosesnya, sekolah ini menjadi pusat kebudayaan bangsa Asia Timur. Selepas konfusianisme memasuki masyarakat Barat, ia mulai waspada terhadap segala macam filsafatnya. (Al-Maghlouth, 2010, p. 525)
Meskipun konfusianisme telah menjadi aliran resmi di Cina, ia tak lantas meningkat menjadi sebuah agama dalam arti terminologi. Mereka membutuhkan keberadaan kuil dan tingkatan pemuka agama. Kemudian, Konfusius mendapatkan posisi tinggi di antara cendekiawan Cina. Para cendekiawan tersebut memberinya julukan “guru” atau “orang yang bijaksana”. Namun, penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sampai pada tahap penghormatan terhadap Tuhan. Akan tetapi, sebagian sejarawan Barat mulai salah memahami hal ini sehubungan dengan pemahaman yang melekat tentang ibadah orang-orang terdahulu terhadap agama Cina. Konfusius tidaklah menyatakan bahwa dirinya Tuhan. Kontras dengan agama-agama lain, tempat-tempat ibadah Konfusius tidaklah dibangun spesifik hanya untuk golongan atau pengikutnya yang terorganisir, tetapi bangunan umum yang dikhususkan untuk ritual tahunan seperti peringatan hari lahir Konfusius. Melihat dari watak dasar yang serba duniawi-bukan religius-dari filsafat ini, maka segala usaha untuk menjadikannya sebagai keyakinan agama pun tidaklah berhasil. (Al-Maghlouth, 2010, p. 525)

D.    Kitab dan Kodifikasi Pengajaran
Prinsip-prinsip dasar sekolah konfusianisme ditulis dalam Sembilan kitab Cina Kuno yang diwariskan secara turun menurun kepada seluruh pengikutnya. Penulisan prinsip-prinsip tersebut selesai pada masa Dinasti Zhou-masa yang dikenal dengan berjamurnya sekolah filsafat. Kitab tersebut terbagi menjadi dua:
1)      Kitab suci yang lima (Wu Jing)
2)      Kitab suci yang empat (Shi Shu)
Ajaran0ajaran Konfusius ditransfer secara berangsur dengan metode lisan yang selanjutnya ditulis Lun Yu. Ajaran Konfusius, secara spesifik, melakukan penekanan pada realita moral (terdapat dalam tulisan moralitas) saat Cina dilanda kerusakan moral sebagai dampak labilnya politik dan guncangan sosial karena perilaku imperialis beberapa kerjaan-kerajaan kecil terhadap Dinasti Zhou. Gejolak ini memanggil para Konfusius untuk merenungkan metode ideal guna mengembalikan kesatuan kerajaan-kerajaan. Akhirnya, mereka dan beberapa filsuf melakukan reformasi serta menciptakan pemikiran baru pada satu waktu. (Al-Maghlouth, 2010, pp. 525-526)

E.     Konsep Li
Konfusius memandang bahwa undang-undang politik dan sosial merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Keunggulan-keunggulan dan etika individu para hakim serta aristocrat telah cukup sebagai kekuatan sebuah pemerintahan. Stabilisasi hukum perundangan mungkin terwujud sempurna dengan jalan pemerataan ritual Li dan music Cina. Karenanya, music Cina modern pada satu masa sempat menjadi unsur utama dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan. (Al-Maghlouth, 2010, p. 526)
Konfusius bahkan mengakui keunggulan music Cina karena dapat bermanfaat bagi rohani dan jiwa manusia. Dia merupakan sosol pecinta syair Cina kuno. Syair tersebut kadang disusun dalam bentuk lagu dan mengandung nilai-nilai peradaban. Dia memandang bahwa pemerintahan yang memilii music dan ritual-ritual yang berhubungan dengan pemerintah-dipilih berdasar adat dan tradis-tradisi yang ada akan menciptakan warga Negara yang bahagia dan mampu menikmati segala kelebihan dengan penuh kepuasan. Dengan hal tersebut, Negara tak lagi memerlukan peraturan untuk mendisiplinkan mereka. Negara akan aman sehingga aturan tidak lagi beguna. Konfusius terobsesi untuk mencari seorang pemimpin yang mampu merealisasikan ajaran-ajaran ini, tetapi gagal. (Al-Maghlouth, 2010, p. 526)

F.     Konsep Ren
Pandangan umum tentang dasar moralitas konfusianisme terangkum dalam konsep Ren. Jika dialihbahasakan, Ren berarti ‘humanisme atau ‘kebaikan hati’. Ren merupakan keluhuran jiwa yang menggambarkan sifat paling mulia dalam diri manusia. Pada masa Konfusius, konsep Ren bertemu dengan para filsuf. Seiring waktu, konsep ini berubah arah menjadi tingkat “kaum cerdik”, atas dasar bahwa pemahaman ini lebih mencakup pada relasi kemanusiaan yang tidak tertuju pada dua orang saja. Berikut beberapa konsep Ren:
1)      Tsung: ikhlas terhadap diri sendiri dan orang lain
2)      Xiao: altruism (mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri)yang terejawantah dalam konsep jiwa Konfusius dengan ungkapan “Jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak suka jika orang lain melakukan hal itu kepadamu”.
3)      Juntsih : diterjemahkan menjadi pemuda yang mulia karena keagungan yang dia miliki, bukan semata karena factor nasab. Sebutan ini ditunjukan bagi seseorang yang memiliki beberapa kelebihan, seperti konsisten, kebijaksanaan, pekerti yang luhur, ketulusan, juga ketakwaan.
Pada aspek politik, Konfusius mengajarkan kekuasaan dominan oleh seorang hakim yang dihormati dan ditaati rakyat. Seorang hakim hendaknya memperbaiki akhlak hingga menggapai kesempurnaan dan mampu menjadi teladan untuk rakyat. Dalam bidang pendidikan, Konfusius memiliki pandangan progresif. Dia menganjurkan pemerataan pendidikan dalam seluruh elemen masyarakat tanpa memandang strata sosialnya. (Al-Maghlouth, 2010, pp. 526-527)

G.    Akar Pemikiran dan Keyakinan Konfusianisme
Konfusianisme merupakan kepercayaan-kepercayaan masyarakat Cina Kuno pada tahun 2600 SM. Konfusius sebagai penerima pertama, lalu diberikan kepada para pengikutnya tanpa ada perdebatan, perseteruan, atau klarifikasi. Pada abad ke-4 M muncul kepercayaan (sandaran) baru yaitu pemujaan Bintang Kutub. Para penganutnya berkeyakinan bahwa ia adalah poros langit. Para peneliti meyakini dari agama sebagian penduduk pesisir Laut Tengah. (Al-Maghlouth, 2010, p. 527)
Konfusianisme berhasil mengalahkan dorongan komunisme dan sosialisme yang muncul sejak 2 abad SM, layaknya kesuksesan meleburkan buddhisme dengan acuan konfusianisme Cina. Jadi, buddhisme dengan acuan konfusianisme Cina. Jadi, buddhisme Cina memiliki karakteristik sendiri yang sama sekali berbeda dengan buddhisme Hindia yang asli. Keyakinan konfusianisme masih tetap eksis dalam keyakinan mayoritas masyarakat Cina modern meski adanya kuasa politik komunis. (Al-Maghlouth, 2010, pp. 527-528)

H.    Penyebaran dan Wilayah Kekuasaan
Konfusianisme telah tersebar di Cina. Sejak tahun 1949 M, konfusianisme mulai memisahkan diri dari arena politik dan agama. Namun, ia tetap terpendam dalam jiwa rakyat Cina dan menjadi unsur yang mendorong perubahan terhadap system komunisme-marxisme di Cina. Konfusianisme pun tetap cenderung pada sistem perundangan sosialis di Formoza atau (nasionalisme Cina). Konfusianisme tersebar di Korea dan Jepang. Ia menjadi salah satu materi di Universitas Jepang. Ia merupakan prinsip dasar yang membentuk moralitas di sebagian besar Negara Asia Timur dan bagian timur Asia Selatan hingga abad pertengahan dan modern. Konfusianisme mendapatkan kebijaksanaan sebagian filsuf Barat, seperti Libintiz (1646-1716 M) dan Peter Nail yang telah menyebarkan kitab-kitab klasik Konfusius tahun 1711 M dan mayoritas diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. (Al-Maghlouth, 2010, p. 528)
Konfusianisme terbagi menjadi dua golongan:
1)      Aliran radikal.
Aliran ini tergambar pada diri Mansius. Dia menghafalkan secara literalis seluruh pemikiran-pemikiran Konfusius serta menerapkannya secara utuh. Mansius merupakan salah satu muris spiritual Konfusius, tetapi dia tidak mendapatkan ajaran secara langsung dari Konfusius, melainkan dari sang paman, Tsesze yang telah mengarang kitab Central Harmony.
2)      Aliran analitis.
Aliran ini terproyeksikan pada sosok Huntse dan Yagtse. Aliran ini berdiri atas dasar analisa dan interpretasi berbagai pendapat para guru. Selain itu, berpedoman pada beberapa pemikiran yang terilhami dari teks Konfusius. (Al-Maghlouth, 2010, p. 528)

I.       Teologi Agama Konghucu
1.      Haksu Tjhie Tjay Ing
Hanya kebijakan berkenan kepada THIAN, Tuhan yang Maha Esa, tiada jarak jauh tidak terjangkau, kesombongan mengundang bencana, kerendahan hati menerima berkat, demikianlah Jalan Suci Tuhan Yang Maha Esa sepanjang masa. Jalan suci itu satu tetapi menjalin, menembusi semuanya. Jalan suci itu ialah Satya dan Tepasarira, satya kepada Firman Tuhan dan tepasarira, tenggang rasa, mencintai sesame dan lingkungan hidupnya. (Wisnuhardana, 2003, p. 179)
Jalan suci yang dibawa oleh ajaran agama itu ialah kebajikan gemilang, karunia THIAN yang memancarkan cahaya didalam diri manusia. Mengasihi sesame makhluk/rakyat Tuhan Yang Maha Esa dengan sekuat tenaga dan upaya melaksanakan itu sehingga mencapai dan berhenti di puncak baik, yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. (Wisnuhardana, 2003, pp. 179-180)
Dalam UU No. 5 tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai bagian dari agama mainsteam yang diakui Negara. Baru kemudian sejak Pemerintah Abdurahman Wahid, Konghucu kembali menjadi agama yang diakui Negara. Sedangkan kemungkinan bagi jaminan terhadap agama-agama baru tampaknya belum bisa dibayangkan dan dipikirkan. (Jamil, 2008, pp. 185-186)
Dengan melaksanakan Jalan Suci Manusia yang dibimbing Agama, dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa akan diperoleh hidup damai dan sentosa dalam hidup pribadi, keluarga, masyarakat, Negara, dunia maupun akhirat. Bingcu bersabda, “Seorang kuncu mempunyai tiga kesukaan”:
a.       Kesukaan pertama, Ayah bunda dalam keadaan sehat, kakak adik tiada perselisihan.
b.      Kesukaan kedua, perbuatannya menengadah tanpa malu kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunduk tanpa merah muka kepada manusia.
c.       Kesukaan ketiga, mendapatkan orang yang rajin dan pandai untuk dididik. (Bingcu VIIA:20) dalam (Wisnuhardana, 2003, p. 183)


2.      Keimanan dalam Konghucu
Dalam Ekaprasetia Pancakarsa, bahwa ‘agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya. Kebebasan beragama langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan’. (Wisnuhardana, 2003, p. 183)
Keimanan berasal dari kata ‘iman’ yang artinya kepercayaan atau keyakinan yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan yang dipeluknya. Iman berarti ketulusan keyakinan, pengakuan akan kebenaran, dan kesungguhan dalam mengamalkannya. Jadi ‘keimanan’ berarti hal-hal yang bersangkutan dengan ‘iman’. (Wisnuhardana, 2003, p. 184)
3.      Pengakuan Iman yang Pokok
Tiap Umat Konghucu waib memahami, menghayati dan mengimani dasar keimanannya yang pokok, yang tersurat di dalam bab utama kitab tengah sempurna, bab utama ajaran besar, dan salam Iman yang tersurat di dalam Kitab Su King:
“Firman THIAN, Tuhan Yang Maha Esa, dinamakan Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak Sejati dinamakan menempuh jalan suci. Bimbingan menempuh jalan suci, dinamakan agama (Kau). Dipermuliakanlah. Adapun jalan suci yang dibawakan ajaran besar (Thai Hak), ialah Mewujudkan kebajikan yang bercahaya (Bing Tik), mengasihi rakyat dan berhenti pada puncak kebaikan. Dipermuliakanlah. Hanya kebajikan berkenan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sungguh memiliki kebajikan yang esa/murni. Siancai.”
Dari pengakuan Iman yang pokok ini dapat kita petik beberapa kesimpulan:
a.       Seorang umat Konfusian wajib beriman, percaya, satya, bertaqwa dan hormat/sujud terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b.      THIAN, Tuhan Yang Maha Esa adalah khalik semesta alam dengan segala benda dan makhluknya;
c.       Hidup manusia dalah oleh Firman THIAN, maka manusia mengemban tugas suci sebagai manusia dan wajib mempertanggungjawabkan hidupnya kepada THIAN;
d.      Firman THIAN itu sekaligus menjadi watak sejati, hakekat kemanusiaan, yang menjadikan manusia memiliki kemampuan melaksanakan tugas sucinya sebagai manusia;
e.       Mewujudkan kebajikan, yang di dalamnya mengandung benih-benih cinta kasih, kesadaran menjunjung kebenaran/keadilan/kewajiban, kesusilaan dan kebijaksanaan yang hidup, tumbuh, berkembang dalam rohani manusia, itulah tugas sekaligus tujuan suci hidup anusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan;
f.       Terwuudnya kebajikan dalam diri manusia adalah untuk diamalkan dalam penghidupan, mengasihi, tenggang rasa, tepasarira kepada rakyat, kepada sesama manusia dan menyayangi (memiliki) rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidupnya.
g.      Mewujudkan kebajikan, mengasihi sesama, menyayangi lingkungan, sehingga mencapai puncak baik, itulah jalan suci yang wajib ditempuh manusia. Itulah jalan suci yang selaras dengan watak sejati manusia.
h.      Bimbingan yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa lewat para Bok Tok, Sing Jien atau nabi-nabinya sehingga manusia dapat membina diri menempuh jalan suci, itulah agama, yang merupakan ajaran besar bagi kehidupan ini.
i.        Hanya kebajikan berkenaan Tuhan, ini mengandung imbauan dan pengakuan iman bahwa hormat akan Tuhan ialah melaksanakan firmanNya, percaya terhadap Tuhan tidak dapat dilepaskan dari hidup mewujudkan kebajikan dan mengamalkannya; di dalamnya terkandung Pengertian paripurnanya ibadah dan disitukah makna 9nilai) manusia di hadapan Tuhan Khaliknya maupun di hadapan sesama makhluk dan lingkungannya. Menjadi insan yang dapat dipercaya terhadap Tuhan Khaliknya maupun terhadap sesamanya. (Wisnuhardana, 2003, pp. 185-187)























DAFTAR PUSTAKA

Al-Maghlouth, S. b. (2010). Athlas Al-Adyan. Jakarta Timur: Almahira.
Jamil, M. M. (2008). Agama-Agama Baru Di Indonesia. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Wisnuhardana, dkk. A. (2003). Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: DIAN/INTERFIDEI.


0 komentar:

Posting Komentar